Jumat, 04 Juli 2008
Hubungan Imajiner Riga Adiwoso dan George Bush
"Besar betul gagasan anda, ... menyebut 'konsumen Muslim sebagai pusat ekonomi global'! seru Riga Adiwoso ke hadapan saya "Bagaimana cara anda menulis ide yang besar ini,,,, George Bush pun bisa mati berdiri mendengar ini!". katanya lagi dengan nada sinis. Sebetulnya saya ingin mengucapkan "Ok bu, kalau saya bisa merealisasikan menjadi sebuah penelitian, apakah Bush akan benar-benar mati?". Tapi ucapan itu hanya ada di dalam hati, sebab posisi saya kala itu berada pada posisi sub ordinat dan ia berada pada posisi dominan group sebagai penguji. Istilah dominan dan sub ordinat saya dapatkan darinya juga dalam suatu mata kuliah "Integrasi sosial". Beberapa tahun yang lalu saya belajar konsep itu dan pernah saya cetuskan dalam suatu diskusi dengan saudara yang pernah menjadi pejabat militer. Beliau hanya tersenyum mendengar istilah tersebut dan mengatakan bahwa istilah itu ada dalam konsep-konsep sosialis dan marxis. Beberapa tahun setelah itu, saya mulai banyak membaca tentang "konflik dan Integrasi" Geertz dan Fedyani,lalu saya menarik kesimpulan, konsep bu Riga sangat berbeda dengan mereka. Tapi saya tidak pernah mendengar mereka mengkritiknya.Kemudian ketika hari ini kata-kata itu terlontar dari seorang Riga, lalu saya teringat dengan dua professor tadi apa mereka akan bersikap sama terhadap saya bila mereka saat itu menguji saya? (Saya sesalkan juga Prof Fedyani kala itu tidak hadir). Bagi setiap mahasiswa ini adalah moment yang penting. Perbedaan yang sudah sangat mendasar itu membuat saya jadi enggan untuk berkomentar, berdebat apalagi menjawab. Harapan saya bahwa saya akan mendapat masukan berharga pupus sudah, yang saya dapat hanyalah pertanyaan-pertanyaan yang penuh kebencian terhadap apa yang menjadi pokok bahasan yaitu "komunitas Muslim" versi saya, yang berkerudung, yang megkonsumsi barang menggunakan dua oposisi dalam rasionya.. halal haram. manfaat tidak manfaat, berlebih-lebihan atau berkecukupan. Menurutnya Muslimnya tidak sama dengan Muslim saya dan juga Prof Azhary (kebetulan pandangan dalam disertasinya saya kutip untuk menguatkan konsep saya). Ketika saya coba katakan bahwa, yang saya tulis juga adalah budaya konsumen Muslim yang bervariasi dan dinamis, saya berharap ia mulai memahami, tetapi yang saya rasakan cuma luapan kebencian, akhirnya saya teringat kata-kata bijak guru mengaji saya KH RA Zailani, kau tidak akan habisnya berdebat dengan orang yang tidak pernah memahami pandanganmu dan tidak akan ada hasilnya, kau sampaikan ataupun tidak kau sampaikan sama saja. So, saya akhirnya memilih diam seribu bahasa sampai akhir. Tapi saya membawa hikmah, mestinya antara Riga Adiwoso dan Bush terdapat hubungan imajiner yang menghubungkan mereka pada suatu dunia imajiner, sehingga bila konsumen Muslim menjadi raja pasar dunia, Riga Adiwoso bisa sakit dan Bush bisa mati. Walahu'alam bisawab
Dari Civil Society Ke Civil Religion
Oleh: Dra. Endang Rudiatin Sosrosoediro, M.Si
Manusia adalah produk sejarah, lingkungan sosial, dan alam, bukan hanya produk adat istiadat nenek moyangnya. Pendapat Ibnu Khaldun yang dituangkan dalam karya besarnya "Al Muqaddimah" yang ditulisnya pada abad 13, relevan dalam menyoroti proses pendidikan di Indonesia. Perkembangan manusia tidak lepas dari kultur di mana dia berada. Kultur di sini bukan hanya me-refer pada kebudayaan sebatas suku atau etnis tertentu, melainkan menjadi suatu konstruksi kombinasi multi dimensi, yaitu latar belakang agama, suku/etnik, lingkungan sosial-budaya dan alam seseorang dalam seluruh proses kehidupannya. Maka proses integrasi berbagai kultur yang dimiliki dan dan terlibat dalam proses transformasi sosial, mencirikan proses multikulturalis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada umumnya, proses internalisasi nilai-nilai dan norma agama diterima, disepakati, didukung dan dikembangkan serta dijadikan pedoman oleh ummatnya dari berbagai kultur di dalam seluruh sendi kehidupannya. Oleh sebab itu, diasumsikan bahwa agama cukup dominan mewarnai proses multikulturalis dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Nilai-nilai agama mengalami proses interpretasi ke dalam diri aktor-aktor/agen, yang kemudian mereproduksi dalam perilaku. Bagaimana agama berperan dalam transformasi sosial dan implikasinya terhadap pembentukan perilaku masyarakat di Andalusia Spanyol, membawa pemikiran Ibnu Khaldun kepada konsep civil society yang unik dan berbeda dengan yang kita temui dalam perkembangan civil society selama ini, yang kemudian oleh beberapa kalangan diterjemahkan sebagai masyarakat madani.
Civil Society
Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.
Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih. Gellner:1996).
Seperti Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin. Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya, masyarakat sipil.
Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Civil Religion
Demokratisasi di sisi lain memunculkan friksi antara masyarakat, agama dan negara. Sebagai negara yang menggunakan pilar agama sebagai landasan perjuangan dan cita-cita bangsa sebagaimana tertuang di dalam pembukaan UUD 45 (Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa.........), meletakkan kehidupan agama diatur oleh negara. Tujuannya tak lain untuk melindungi dan menjamin warga negara dapat menjalankan ibadah agamanya masing-masing dengan baik. Sebagian masyarakat Muslim bahkan meyakini bahwa Pembukaan UUD 45 dijiwai oleh Piagam Jakarta sebagaimana disebutkan juga dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (Kembali kepada UUD 45 yang dijiwai oleh piagam Jakarta). Artinya keyakinan agama merupakan ruh bagi setiap bangsa Indonesia dalam membangun bangsa dan negara ini. Lalu civil religion berkembang seiring dengan keinginan sekelompok masyarakat yang memposisikan agama di tengah perubahan sosial, dengan mengadopsi konsep civil religion bangsa Amerika, yaitu agama dalam masyarakat modern adalah sebagai sandaran transendental. Kehidupan beragama berjalan bersama proses transformasi sosial. Dalam masyarakatnya yang majemuk, agama yang dianut dan berkembang juga beragama, tetapi keragaman agama itu tidak mendapat tempat untuk diekspresikan dalam bentuk simbol-simbol formal.
Pada masyarakat Indonesia, kadang-kadang pejabat negara memperingati acara keagamaan yang dianutnya, seperti msalnya perayaan hari-hari besar dalam agama Islam, yaitu Idul Adha, dimana beberapa instansi menyelenggarakan pemotongan hewan bersama-sama, sholat bersama atau misalnya memperingati Malam Nuzulul Qur’an, buka bersama. Disebabkan di dalam kultur politik masyarakat Indonesia yang berbentuk paguyuban (bahkan di kota-kota besar sekalipun), masih melekat budaya patron-klien, maka apabila seorang pemimpin negara menghadiri dan memperingati acara-acara keagamaan tsb. seluruh staf dan para pembantu-pembantunya akan ikut mengiringi. Fenomena ini yang kemudian banyak dipahami sebagai mengekspresikan agama ke dalam simbol-simbol formal. Tetapi alangkah memprihatinkan, apabila seorang pemimpin dengan alasan menghindari formalisasi simbol-simbol agama, lalu kehilangan haknya untuk berada dan aktif dalam lingkungan agamanya. Tidak dapat kita pungkiri bahwa seringkali simbol-simbol agama dipergunakan sebagai alat politik, melegalkan tindakan-tindakan politik yang bertentangan dengan sekelompok atau beberapa kelompok masyarakat. Tindakan-tindakan seperti ini membuat makna kemajemukan yang harmonis tereliminir. Kemampuan setiap masyarakat untuk dapat menerima perbedaan dalam kemajemukan beragama merupakan tuntutan masyarakat pluralistik. Dengan demikian setiap umat beragama dapat leluasa dan tanpa kekhawatiran dapat melaksanakan ritual agamanya masing-masing, tanpa perlu melakukan penyeragaman, sebab integrasi tidak sama dengan penyeragaman.
Satu pilar utama dalam kehidupan beragama yang majemuk yang harus selalu dijaga dan dijunjung tinggi adalah, ”setiap agama telah memiliki batas-batas koridor masing-masing, sehingga apabila dalam perkembangannya setiap agama yang keluar dari koridor itu, akan membawa keresahan dalam masyarakat agamanya, dan untuk itulah pemerintah bertugas menata dan menyeimbangkan kembali”. Sebagaimana konsep Durkheim, setiap individu dalam masyarakat akan memiliki kecenderungan untuk saling berinteraksi dan saling menyumbang bagi solidaritas sosialnya. Sumbangan individu-individu itu kemudin disepakati bersama dan melahirkan suatu konsep bersama yang ditaati bersama. Sebuah konsep integrasi sosial yang dapat berlaku tidak saja dalam kehidupan sosial masyarakat, tetapi juga kehidupan beragamanya. Levi Strauss dengan konsep strukturalisnya berpendapat, bahwa tidak ada suatu masyarakatpun yang tidak membutuhkan aturan, manusia memiliki naluri untuk itu. Dan civil society serta civil religion berkembang tanpa perlu mendiskreditkan satu kelompok masyarakat dataun satu kelompok agama.
referensi : Komisi Infokom
http://www.mui.or.id/mui_in/article.php?ac
Manusia adalah produk sejarah, lingkungan sosial, dan alam, bukan hanya produk adat istiadat nenek moyangnya. Pendapat Ibnu Khaldun yang dituangkan dalam karya besarnya "Al Muqaddimah" yang ditulisnya pada abad 13, relevan dalam menyoroti proses pendidikan di Indonesia. Perkembangan manusia tidak lepas dari kultur di mana dia berada. Kultur di sini bukan hanya me-refer pada kebudayaan sebatas suku atau etnis tertentu, melainkan menjadi suatu konstruksi kombinasi multi dimensi, yaitu latar belakang agama, suku/etnik, lingkungan sosial-budaya dan alam seseorang dalam seluruh proses kehidupannya. Maka proses integrasi berbagai kultur yang dimiliki dan dan terlibat dalam proses transformasi sosial, mencirikan proses multikulturalis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada umumnya, proses internalisasi nilai-nilai dan norma agama diterima, disepakati, didukung dan dikembangkan serta dijadikan pedoman oleh ummatnya dari berbagai kultur di dalam seluruh sendi kehidupannya. Oleh sebab itu, diasumsikan bahwa agama cukup dominan mewarnai proses multikulturalis dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Nilai-nilai agama mengalami proses interpretasi ke dalam diri aktor-aktor/agen, yang kemudian mereproduksi dalam perilaku. Bagaimana agama berperan dalam transformasi sosial dan implikasinya terhadap pembentukan perilaku masyarakat di Andalusia Spanyol, membawa pemikiran Ibnu Khaldun kepada konsep civil society yang unik dan berbeda dengan yang kita temui dalam perkembangan civil society selama ini, yang kemudian oleh beberapa kalangan diterjemahkan sebagai masyarakat madani.
Civil Society
Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.
Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih. Gellner:1996).
Seperti Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin. Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya, masyarakat sipil.
Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.
Civil Religion
Demokratisasi di sisi lain memunculkan friksi antara masyarakat, agama dan negara. Sebagai negara yang menggunakan pilar agama sebagai landasan perjuangan dan cita-cita bangsa sebagaimana tertuang di dalam pembukaan UUD 45 (Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa.........), meletakkan kehidupan agama diatur oleh negara. Tujuannya tak lain untuk melindungi dan menjamin warga negara dapat menjalankan ibadah agamanya masing-masing dengan baik. Sebagian masyarakat Muslim bahkan meyakini bahwa Pembukaan UUD 45 dijiwai oleh Piagam Jakarta sebagaimana disebutkan juga dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (Kembali kepada UUD 45 yang dijiwai oleh piagam Jakarta). Artinya keyakinan agama merupakan ruh bagi setiap bangsa Indonesia dalam membangun bangsa dan negara ini. Lalu civil religion berkembang seiring dengan keinginan sekelompok masyarakat yang memposisikan agama di tengah perubahan sosial, dengan mengadopsi konsep civil religion bangsa Amerika, yaitu agama dalam masyarakat modern adalah sebagai sandaran transendental. Kehidupan beragama berjalan bersama proses transformasi sosial. Dalam masyarakatnya yang majemuk, agama yang dianut dan berkembang juga beragama, tetapi keragaman agama itu tidak mendapat tempat untuk diekspresikan dalam bentuk simbol-simbol formal.
Pada masyarakat Indonesia, kadang-kadang pejabat negara memperingati acara keagamaan yang dianutnya, seperti msalnya perayaan hari-hari besar dalam agama Islam, yaitu Idul Adha, dimana beberapa instansi menyelenggarakan pemotongan hewan bersama-sama, sholat bersama atau misalnya memperingati Malam Nuzulul Qur’an, buka bersama. Disebabkan di dalam kultur politik masyarakat Indonesia yang berbentuk paguyuban (bahkan di kota-kota besar sekalipun), masih melekat budaya patron-klien, maka apabila seorang pemimpin negara menghadiri dan memperingati acara-acara keagamaan tsb. seluruh staf dan para pembantu-pembantunya akan ikut mengiringi. Fenomena ini yang kemudian banyak dipahami sebagai mengekspresikan agama ke dalam simbol-simbol formal. Tetapi alangkah memprihatinkan, apabila seorang pemimpin dengan alasan menghindari formalisasi simbol-simbol agama, lalu kehilangan haknya untuk berada dan aktif dalam lingkungan agamanya. Tidak dapat kita pungkiri bahwa seringkali simbol-simbol agama dipergunakan sebagai alat politik, melegalkan tindakan-tindakan politik yang bertentangan dengan sekelompok atau beberapa kelompok masyarakat. Tindakan-tindakan seperti ini membuat makna kemajemukan yang harmonis tereliminir. Kemampuan setiap masyarakat untuk dapat menerima perbedaan dalam kemajemukan beragama merupakan tuntutan masyarakat pluralistik. Dengan demikian setiap umat beragama dapat leluasa dan tanpa kekhawatiran dapat melaksanakan ritual agamanya masing-masing, tanpa perlu melakukan penyeragaman, sebab integrasi tidak sama dengan penyeragaman.
Satu pilar utama dalam kehidupan beragama yang majemuk yang harus selalu dijaga dan dijunjung tinggi adalah, ”setiap agama telah memiliki batas-batas koridor masing-masing, sehingga apabila dalam perkembangannya setiap agama yang keluar dari koridor itu, akan membawa keresahan dalam masyarakat agamanya, dan untuk itulah pemerintah bertugas menata dan menyeimbangkan kembali”. Sebagaimana konsep Durkheim, setiap individu dalam masyarakat akan memiliki kecenderungan untuk saling berinteraksi dan saling menyumbang bagi solidaritas sosialnya. Sumbangan individu-individu itu kemudin disepakati bersama dan melahirkan suatu konsep bersama yang ditaati bersama. Sebuah konsep integrasi sosial yang dapat berlaku tidak saja dalam kehidupan sosial masyarakat, tetapi juga kehidupan beragamanya. Levi Strauss dengan konsep strukturalisnya berpendapat, bahwa tidak ada suatu masyarakatpun yang tidak membutuhkan aturan, manusia memiliki naluri untuk itu. Dan civil society serta civil religion berkembang tanpa perlu mendiskreditkan satu kelompok masyarakat dataun satu kelompok agama.
referensi : Komisi Infokom
http://www.mui.or.id/mui_in/article.php?ac
TV Minim Edukasi Banyak Lawakan Melecehkan
27 Sep 2007
Selama paruh pertama bulan Ramadhan 1428 H, Majelis Ulama Indonesia menilai masih banyak program siaran televisi nasional yang kurang pas bagi umat Islam. Selain sangat sedikit unsur edukatif, tayangan-tayangan yang ada masih memperlihatkan aksi kekerasan dan lelucon yang melecehkan.
"Yang menjadi kegelisahan umat Islam ada tiga dimensi, yaitu pornografi, kekerasan, dan mistik," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidan di Jakarta, Rabu (26/9).
Pornografi, menurut Amidan, menyangkut busana dan gerak artis. Adapun kekerasan yang ditampilkan di televisi sama sekali tidak mendidik, dan tayangan mistik justru bertentangan dengan agama.
Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Said Budairy mengungkapkan, dari hasil pemantauan MUI terlihat banyak tayangan yang unsur edukatifnya hanya di bagian akhir, pada endingnya yang hanya selintas. Dan selebihnya, 90 persen tayangan berupa adegan-adegan yang dapat meningkatkan dan mendorong berkembangnya budaya pacaran pada anak-anak sekolah dan remaja.
Di antara hasil pemantauan program siaran di semua stasiun televisi swasta selama paruh pertama bulan Ramadhan ini, tim pemantau MUI juga banyak mendapati siaran lainnya yang tidak pantas ditonton atau tak mendukung suasana Ramadhan. Termasuk acara Empat Mata asuhan Tukul Arwana di Tran7 yang makin kebablasan ke dalam nuansa mesum, ujar Said Budairy.
"Kami imbau pada orang tua dan pendidik supaya kalau ada anak-anak memutar saluran yang kita kritik, minta segera TV-nya dimatikan. Biasanya remaja suka acara lawakan, tapi banyak yang keterlaluan dan tak senonoh," kata Amidhan, Rabu (26/9).
Hasil temuan MUI lain, misalnya, sinetron "Cowok Ideal" di SCTV yang isi ceritanya berebut pacar yang berujung dengan kekerasan, perkelaian; menonjolkan kekayaan orang tua untuk menjadi jagoan di sekolah. Sinetron ini mengajarkan hidup semau-maunya, endingnya hanya selintas saja seperti yang sudah bisa ditebak anak baik dapat ganjaran pacar idamannya walau si pacar sudah sempat berselingkuh, si jahat ditangkap polisi.
Kemudian ada pula tayangan menyajikan kekerasan dan hinaan yang merendahkan martabat pembantu rumah tangga (PRT). "Sinema Asyik" TPI dengan judul Legenda Buta Kala menampilkan adegan menampar dan menghina PRT dan memperkokoh stereotip negatif terhadap PRT. Ditemukan pula degan ciuman dan mengesankan hubungan seksual bahkan perkosaan.
Tim pemantau MUI menemukan banyak acara lawak menggunakan kata-kata yang melecehkan orang lain dengan kualitas lelucon yang rendah dan tak mendidik. Seperti program 'Stasiun Ramadhan' di RCTI yang dinilai Amidhan sudah kelewatan.
Sementara adegan remaja yang membentak sambil menunjuk wajah orang tuanya dalam sinetron akan membangun persepsi bahwa hal demikian lumrah. Ini ditemui dalam sinetron Keluargaku Harapanku di Indosiar. Pantauan terhadap tayangan hiburan dan infotainment juga menunjukkan masih adanya artis memakai baju ketat, mini, dan adegan erotis. Antara lain Star Dut di Indosiar, Lativi lewat 'Sinema Pagi' berjudul Lost in Singapore dan Warkop DKI; acara Empat Mata Tukul Arwana, Gosip Pagi, Rumpi di Trans 7; serta Seleb Dance dan film India di Antv.
Adegan canda juga menggunakan kata-kata yang tidak pantas karena melecehkan orang lain
Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Fetty Fajriati berterima kasih atas masukan MUI dan akan menindaklanjutinya. Jika terbukti ada pelanggaran, ada ancaman pidananya.
"Jika memang benar suatu tayangan sinetron justru melecehkan agama Islam, KPI akan membuat surat teguran kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan," kata Fetty Fajriati.
penulis : (lok) - sb
referensi : Kompas/Republika/Infokom
Selama paruh pertama bulan Ramadhan 1428 H, Majelis Ulama Indonesia menilai masih banyak program siaran televisi nasional yang kurang pas bagi umat Islam. Selain sangat sedikit unsur edukatif, tayangan-tayangan yang ada masih memperlihatkan aksi kekerasan dan lelucon yang melecehkan.
"Yang menjadi kegelisahan umat Islam ada tiga dimensi, yaitu pornografi, kekerasan, dan mistik," kata Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidan di Jakarta, Rabu (26/9).
Pornografi, menurut Amidan, menyangkut busana dan gerak artis. Adapun kekerasan yang ditampilkan di televisi sama sekali tidak mendidik, dan tayangan mistik justru bertentangan dengan agama.
Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi MUI Said Budairy mengungkapkan, dari hasil pemantauan MUI terlihat banyak tayangan yang unsur edukatifnya hanya di bagian akhir, pada endingnya yang hanya selintas. Dan selebihnya, 90 persen tayangan berupa adegan-adegan yang dapat meningkatkan dan mendorong berkembangnya budaya pacaran pada anak-anak sekolah dan remaja.
Di antara hasil pemantauan program siaran di semua stasiun televisi swasta selama paruh pertama bulan Ramadhan ini, tim pemantau MUI juga banyak mendapati siaran lainnya yang tidak pantas ditonton atau tak mendukung suasana Ramadhan. Termasuk acara Empat Mata asuhan Tukul Arwana di Tran7 yang makin kebablasan ke dalam nuansa mesum, ujar Said Budairy.
"Kami imbau pada orang tua dan pendidik supaya kalau ada anak-anak memutar saluran yang kita kritik, minta segera TV-nya dimatikan. Biasanya remaja suka acara lawakan, tapi banyak yang keterlaluan dan tak senonoh," kata Amidhan, Rabu (26/9).
Hasil temuan MUI lain, misalnya, sinetron "Cowok Ideal" di SCTV yang isi ceritanya berebut pacar yang berujung dengan kekerasan, perkelaian; menonjolkan kekayaan orang tua untuk menjadi jagoan di sekolah. Sinetron ini mengajarkan hidup semau-maunya, endingnya hanya selintas saja seperti yang sudah bisa ditebak anak baik dapat ganjaran pacar idamannya walau si pacar sudah sempat berselingkuh, si jahat ditangkap polisi.
Kemudian ada pula tayangan menyajikan kekerasan dan hinaan yang merendahkan martabat pembantu rumah tangga (PRT). "Sinema Asyik" TPI dengan judul Legenda Buta Kala menampilkan adegan menampar dan menghina PRT dan memperkokoh stereotip negatif terhadap PRT. Ditemukan pula degan ciuman dan mengesankan hubungan seksual bahkan perkosaan.
Tim pemantau MUI menemukan banyak acara lawak menggunakan kata-kata yang melecehkan orang lain dengan kualitas lelucon yang rendah dan tak mendidik. Seperti program 'Stasiun Ramadhan' di RCTI yang dinilai Amidhan sudah kelewatan.
Sementara adegan remaja yang membentak sambil menunjuk wajah orang tuanya dalam sinetron akan membangun persepsi bahwa hal demikian lumrah. Ini ditemui dalam sinetron Keluargaku Harapanku di Indosiar. Pantauan terhadap tayangan hiburan dan infotainment juga menunjukkan masih adanya artis memakai baju ketat, mini, dan adegan erotis. Antara lain Star Dut di Indosiar, Lativi lewat 'Sinema Pagi' berjudul Lost in Singapore dan Warkop DKI; acara Empat Mata Tukul Arwana, Gosip Pagi, Rumpi di Trans 7; serta Seleb Dance dan film India di Antv.
Adegan canda juga menggunakan kata-kata yang tidak pantas karena melecehkan orang lain
Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Fetty Fajriati berterima kasih atas masukan MUI dan akan menindaklanjutinya. Jika terbukti ada pelanggaran, ada ancaman pidananya.
"Jika memang benar suatu tayangan sinetron justru melecehkan agama Islam, KPI akan membuat surat teguran kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan," kata Fetty Fajriati.
penulis : (lok) - sb
referensi : Kompas/Republika/Infokom
Langganan:
Postingan (Atom)