Senin, 12 Agustus 2013

Lost Generation: Mengapa Suatu Pendidikan Mengalami Kemunduran

1. Rendahnya Pendidikan Sebab Rendahnya Peradaban 

          Generasi yang hilang (lost generation), merupakan sebuah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan potret generasi muda yang sudah mulai kehilangan idealismenya, dan daya juangnya. Idealisme dan daya juang yang terpangkas habis akan mengakibatkan sebuah generasi kehilangan rasa kebangsaan, kehilangan identitas suku, kehilangan jati diri, bahkan kehilangan harga diri. Hal ini disebabkan karena generasi seperti ini, tidak memiliki landasan yang dapat dipergunakan bagi mereka menjadi acuan bagi kehidupannya, sehingga mereka mudah terbawa arus dan tercabut dari akar identitasnya. Suatu landasan yang mengikat idealisme dan daya juang menjadi suatu kekuatan untuk dapat berbuat banyak dalam hidup ini, yaitu landasan iman kepada Allah SWT. Apabila kebudayaan adalah juga peradaban, maka dengan mengutip kesimpulan Ibnu Khaldun tentang pendidikan, ditemukan bahwa rendahnya pendidikan suatu bangsa disebabkan rendahnya peradaban. Kesimpulan ini ditemukannya di Andalusia Spanyol dan di Maroko. Lembaga pengajaran ilmiah telah lenyap di Andalusia, sedangkan di Maroko sistem pengajarannya memburuk, akibatnya masa penyelesaian pendidikan di Maroko menjadi lebih lama dibandingkan di Tunisia. Terlupanya para ilmuwan Muslim di Andalusia terhadap kesinambungan pendidikan dan keilmuan, yaitu regenerasi dan kaderisasi, juga merupakan faktor penyebab mundurnya peradaban mereka. Disaat itu pula peristiwa dibunuh dan lenyapnya para ilmuwan Muslim yang sekaligus beribu-ribu buku ilmu pengetahuan mereka dibakar, setelah diterjemahkan dalam bahasa Spanyol dan Inggris, yang kemudian banyak diplagiat selanjutnya dikenal dengan peristiwa jatuhnya Cordoba. Sedangkan negeri Maroko mendapatkan peradabannya dari Andalusia, yang penduduknya diusir keluar dan berimigrasi ke Maroko, Tunisia dan Mesir. 
       Kemudian disebabkan oleh terputusnya tradisi ilmu dan pengajaran (tidak adanya kaderisasi dan regenerasi), maka perkembangan ilmu pengetahuan berhenti, seiring dengan merosotnya peradaban. Selanjutnya menurut Ibnu Khaldun, masyarakat berbudaya memiliki banyak keahlian dan mahir dalam bidang keahlian itu, serta memiliki metode-metode pengajaran ilmunya dengan baik. Kelebihan masyarakat berbudaya terletak pada bagaimana mereka memoles dengan baik keahlian-keahlian dan pengajaran ilmiah yang mereka terima. Orang-orang berbudaya memiliki peraturan-peraturan bertingkah laku (adat istiadat) untuk segala sesuatu yang akan mereka lakukan dan yang tidak mereka lakukan. Mereka memiliki aturan-aturan tertentu dalam menjalani kehidupan, mendirikan tempat tinggal, mendirikan bangunan, menangani masalah-masalah agama dan dunia serta seluruh kegiatan mereka. Tatakrama (etika) menjadi batas-batas perilaku mereka, bersamaan dengan itu tatakrama tersebut adalah keahlian yang diterima generasi terakhir dari generasi sebelumnya. Tidak diragukan lagi, setiap keahlian mempengaruhi dan menggerakkan jiwa untuk meningkatkan intelektual dan selalu siap menerima keahlian lain. Dengan demikian intelektual terbiasa siap menerima pengetahuan dengan cepat (sekarang yang digandrungi sebagai memiliki keseimbangan IQ EQ).       
         Hal-hal demikian yang membedakan masyarakat berbudaya dengan masyarakat yang mulai mengalami kemunduran peradaban. Ketika suatu masyarakat mulai mengalami ketinggian peradaban, keahlian semakin meningkat, ilmu dan teknologi berkembang pesat, manusia mulai hidup lebih mudah dengan berbagai fasilitas, pada saat itu mulai muncul kebiasaan hidup mewah (hadlarah). Kebutuhan sekunder menjadi sama seperti layaknya kebutuhan primer. Seiring dengan itu pula, tindakan-tindakan immoralitas juga berkembang, muncul korupsi sebagai akibat keinginan untuk memenuhi kebutuhan dan hidup mewah. Penipuan, kecurangan, perjudian dan segala tindakan yang mengarah kepada dekadensi moral mulai sulit dibendung. Pada saat inilah suatu peradaban mulai berakhir. Tatakrama, adat istiadat serta agama mulai kehilangan kendalinya atas manusia. Mereka tidak menjaga semua itu, karena telah diwarnai adat istiadat baru dan terasa sukar untuk menariknya (istilah sekarang trend). Seluruh manusia masuk dalam pusaran dan terikat dalam kondisi tersebut. Di sela-sela kehidupan seperti ini, generasi-generasi baru mulai kehilangan keahlian, dalam hal ini kultur dan ilmu pengetahuan yang seharusnya diestafetkan kepada mereka. Generasi ini menjadi generasi yang hilang (lost generation). 

2. Ilmu Pengetahuan dan Peradaban 

          Jika sistem pendidikan kita tidak pernah selesai dalam mencari formatnya yang baku, maka sulit untuk mengestafetkan kultur dan ilmu pengetahuan secara lancar dan berkesinambungan pada generasi selanjutnya. Yang lebih penting lagi adalah apa yang menjadi landasan mereka untuk melakukan regenerasi dan kaderisasi dalam kultur dan ilmu pengetahuan? Landasan yang paling hakiki seyogyanya adalah agama, sebab agama adalah ruh, pemicu motivasi dan penuntun jiwa yang mengemudikan manusia dalam melakukan berbagai kegiatan dan menentukan tujuan hidup. Untuk apa kita hidup, untuk apa kita mencari ilmu dan untuk apa semua yang kita lakukan kemarin, kini dan yang akan datang? 
          Apabila kita selama ini merencanakan suatu pendidikan tidak hanya meliputi pengembangan kognisi saja melainkan juga jiwa sebagai suatu kesatuan sistem pendidikan, maka kita sudah berada pada jalur yang tepat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan multikulturalis juga mencakup tidak saja pendidikan dan pengajaran logika melainkan juga pendidikan dan pengajaran jiwa/mental. Disinilah agama berperan mewarnai sistem pendidikan. Kala perkembangan Ilmu Pengetahuan di Andalusia Spanyol telah mencapai puncak keemasannya, di teras-teras masjid, para ulama dan santri-santrinya berdiskusi tentang berbagai ilmu. Pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu logika saling berintegrasi-komplementer dengan pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu etika-moral yang semuanya dilandaskan pada syari’ah agama yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasululllah. Masa itu tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu duniawi dan ilmu-ilmu ukhrowi, sebab tidak ada sekularisasi dalam pelaksanaan hukum-hukum syari’ah. Ilmu pengetahuan juga berkembang pesat di Baghdad, Cordoba, Basrah dan Kufah (Iran) dan begitu melimpah di kota-kota, yang memiliki peradaban lebih tinggi daripada didesa-desa, sehingga orang-orang di desa yang ingin mendapatkan ilmu pengetahuan, yang tidak akan mendapatkannya di desa, harus pergi ke kota dan di sanalah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kemudian ketika peradaban itupun sirna, ilmu pengetahuanpun mulai merosot.