Korupsi
merupakan sebuah kata yang menjadi “hantu” para reformis yang sejak tahun 1999
ingin coba dieliminir. Wacana
ideal yang digulirkan dan pada saat itu mendapat dukungan dari seluruh
masyarakat di segenap elemen, pada perjalanan operasionalnya ternyata
tersendat-sendat kehilangan arah. Kendali reformasi seolah-olah diambilalih
kembali oleh kelompok status quo, sebab format yang digunakan untuk
menjalankan pemerintahan secara umum relatif masih sama seperti sebelum
reformasi. Akan tetapi perbaikan masih tetap ada walaupun tidak banyak, yaitu
di bidang Hukum dan perundang-undangan, setelah amandemen UUD oleh
legislatif. Seharusnya Undang-undang
yang dibuat setelah amandemen UUD tsb. dapat menjadi payung bagi berbagai
permasalahan yang selama ini menghantui masyarakat, satu yang paling utama
adalah memberantas korupsi.
Pada perjalanannya, undang-undang anti korupsi
inipun tidak berjalan dengan baik. Berbagai masalah korupsi yang melibatkan
elite mantan pejabat dan kroninya senantiasa mengambang tanpa kepastian.
Sebaliknya hingga beberapa kali pergantian pimpinan bangsa (mulai dari KH
Abdurahman Wahid, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono), arah
pemerintahan cenderung berlawanan arah
dengan reformasi, bahkan korupsi mengalami peningkatan lebih parah. Status
quo semakin menancapkan kuku-kukunya dalam metamorfosis
ke bentuk new status quo. Korupsi menjadi wabah yang dahsyat menulari
hingga masyarakat pedesaan. Akankah korupsi yang sudah menguasai budaya Timur Indonesia ini
tak dapat digoyahkan? Dan akankah kita mengalami kembali masa-masa 30 tahun
yang menyengsarakan masyarakat kecil, dan membawa para elite menengah ke atas
kepada kehidupan yang liberal, yang tidak lagi mengindahkan etika-moral? Begitu
rapuhnyakah mental bangsa kita terhadap materi?
A. Budaya Materialisme
Budaya
materialisme berasal dari pemikiran materalistis dari pemikiran Barat yang masuk ke dalam budaya Indonesia . Materialisme adalah aliran dalam filsafat yang memandang bahwa segala sesuatu adalah realitas, dan keseluruhan realitas adalah materi. Bagi materialism bahwa di dalam hidup kemasyarakatan satu-satunya yang nyata adalah “ adanya masyarakat ” dan masyarakat itu berproduksi. (Materi itu berwujud, bukan abstrak). Budaya ini melahirkan
pribadi-pribadi yang hanya memikirkan sandang, pangan dan papan. Pertentangan,
perselisihan dan konflik yang akhirnya membawa pertumpahan darah, lebih banyak
disebabkan oleh perebutan kedudukan, kekuasaan, pengaruh, wewenang, jabatan,
hak milik untuk mendapatkan pengikut yang banyak. Banyaknya pengikut memberikan
status dan privileges sendiri dalam budaya kita.
Corak budaya seperti
ini bersifat unik dan enkulturatif, perlu pemahaman
historis-antropologis-ekonomi. Bila dahulu banyaknya pengikut disebabkan oleh
daya karisma seseorang, yang setiap kata
dan tindakannya akan dijadikan panutan dan memberi privileges juga bagi
yang dekat dengan tokoh ini, maka sekarang materi menjadi acuan ketokohan
seseorang. Dahulu,
karisma terdapat pada tokoh-tokoh ulama, guru dan orang yang memiliki ilmu
(intelektual). Tapi saat ini, ketika ijazah telah menjadi bagian dari kedudukan
dan status sosial masyarakat, ketokohan ulama, guru dan intelektual telah
kehilangan kesakralannya. Karisma yang semula merupakan daya magnetis seseorang
yang muncul dari pancaran kepribadian dan akhlaqnya, digantikan oleh
kepemilikannya atas harta dan kekayaan. Materi menjadi segala-galanya untuk
menjalani proses kehidupan ini. Akhirnya sikap pragmatis muncul untuk
berlomba-lomba mendapatkan kehormatan, status, ketokohan ataupun kekuasaan.
Dahulu budaya Patron-klien bersifat saling menguntungkan, dimana majikan atau
pimpinan akan memberi perlindungan dan kesejahteraan bagi pengikut-pengikutnya
dan sebaliknya pengikut-pengikut memberikan loyalitas dan dedikasinya untuk
memperkuat posisi majikan atau
pimpinannya untuk jaminan kelangsungan kegiatan seluruh masyarakat.
Kini
pimpinan lebih banyak melakukan eksploitasi kepada para pengikutnya, demi
memperbesar kekuasaan dan kekayaan,
akibatnya jurang pemisah pimpinan dan masyarakatnya semakin dalam, tingkat kehidupan si kaya dan
si miskin semakin tidak seimbang. Ketidakseimbangan dalam pendapatan dan
kehidupan membuka peluang terjadinya
manipulasi, dan tindakan manipulasi yang paling mudah dilakukan adalah korupsi.
Lingkaran ini menjelaskan bagaimana korupsi dapat meluas mulai dari tingkat
elite hingga masyarakat di bawah dalam segenap kehidupan. Hal tsb. diperparah
dengan tidak ada satu elemen elite politikpun yang bersungguh-sungguh untuk
mengakhiri praktek korupsi yang sudah menggurita ini.
B. Benarkah Korupsi Adalah Budaya?
Praktek
Korupsi yang semakin menjadi-jadi ini, menunjukkan bahwa korupsi sudah menjadi
bagian dari budaya masyarakat selama rezim orde baru. Lemahnya moral akhlaq
para penegak kebenaran, mulai dari hakim, pengacara, jaksa, penyidik hingga
aparat keamanan, mengakibatkan supremasi hukum hanya menjadi angan-angan.
Budaya saling memberi yang berlandaskan pada keikhlasan sebagai amal shaleh dan
amal jariah, diselewengkan menjadi budaya tau sama tau, yaitu kewajiban
memberi bagi setiap orang yang mendapatkan pelayanan jasa, untuk sebuah tanda
tangan, untuk kelancaran prosedur administrasi ataupun kemudahan-kemudahan
lain. Praktek korupsi berlangsung menetap mulai dari penjaga pintu kereta,
hingga tata usaha di kantor-kantor pemerintah (lih, Alatas Husin, 1999). Tetapi
korupsi sebagai budaya masyarakat masih menjadi perdebatan di kalangan
ahli-ahli sosiologi dan antropologi. Benarkah korupsi itu budaya? Atau
implementasi dari budaya materialisme? Atau sebagai hasil kerja interest
group dalam menggunakan simbol-simbol budaya dalam masyarakat untuk
mendapatkan legalitas bagi tindakannya, sebagaimana mereka menggunakan
simbol-simbol agama untuk melegalisasi suatu tindakan (pseudo coersive).
Masyarakat Indonesia
memiliki banyak simbol-simbol budaya mulai dari kelahiran anak, masa
perjodohan, perkawinan hingga kematian, mulai dari membangun rumah, bekerja
hingga penataan ruang, dan masih banyak lagi.
Bila
penggunaan simbol-simbol agama untuk melanggengkan hukum dan norma-norma yang
berpihak kepada penguasa (agar lebih powerfull), maka penggunaan
simbol-simbol budaya lebih banyak dimanipulasi untuk mengalokasi sumber-sumber
daya dan perluasan jaringan sosial (social network). Whitten dan Wolfe
(Macmillan, 1986) mendefinisikan jaringan sosial sebagai serangkaian hubungan
yang terbentuk diantara individu-individu dengan maksud membentuk sebuah basis
guna memobilisasi mereka dan juga orang lain menghadapi suatu kepentingan
tertentu. Oleh sebab itu dapat dipahami mengapa hubungan patron klien dalam
ekonomi secara historis sangat langgeng dari waktu ke waktu dan tidak dapat
dipatahkan oleh kehadiran lembaga formal beserta kebijakan yang menyertainya.
Institusi politik mengadopsi fenomena sosial-ekonomi ini untuk menguatkan dan
memperluas simpatik, pengaruh dan kekuasaan. Sebagaimana dikatakan pula oleh
Levi Strauss (Stack, 1969:54), barang-barang bukan komoditi ekonomis, namun
sarana bagi realitas sebuah tatanan yang lain seperti: kekuasaan, pengaruh,
simpati, status dan emosi. Dengan
demikian apabila patron-klien menyusup ke dalam birokrasi suaqtu pemerintahan,
maka sistem birokrasi yang terbentuk adalah birokrasi patrimonial. Sistem birokrasi seperti ini
menjungkirbalikkan tatanan legal rasional, di mana fungsi administrasi dan fungsi operasional saling terpisah.
Sebelumnya mari kita teliti
bagaimana kehidupan sosial-ekonomi masyarakat kita. Kompleksnya kegiatan
ekonomi mendorong sejumlah aktifitas sosial sebagaimana yang ditemukan
Malinowski (1961) dalam perdagangan “kula”, sehingga perdagangan yang
berlangsung di dalamnya memiliki keterkaitan dengan sejumlah tradisi dan
aturan-aturan. Komunitas atau “kelompok” manapun dalam masyarakat modern walaupun
sudah bergerak menuju pola yang global, masih banyak berorientasi pada pola partikularistik, askriptif dan rasa hormat (penghargaan) yang berkembang dan
berkelanjutan. Hal ini yang menjadi alasan mengapa di tingkat komunitas
masyarakat usaha kecil, ikat-ikatan pertemanan, kekerabatan dan ketetanggaan
mempunyai banyak orientasi partikularistik
dan askriptif. Pada umumnya di
latarbelakangi kebutuhan dan kendala
yang di hadapi dalam sistem ekonominya[1].
Jaringan hubungan pertemanan, kekerabatan dan berbagai kesamaan; latarbelakang,
asal daerah atau iman (keyakinan) dijadikan sebagai dasar membangun ikatan
“kepercayaan”, satu nilai terpenting dalam hubungan bisnis masyarakat kecil.
Oleh sebab itu bentuk susunan (struktur) sosial dari kelompok-kelompok
masyarakat kecil harus dilihat sebagai jaringan manusia-manusia yang bergerak
berdasarkan pilihan-pilihan moral-rasional.
C. Korupsi: Memanfaatkan Simbol-simbol Kebudayaan
Hubungan kekeluargaan/kekerabatan menjadi satu aspek penting dalam
seluruh kehidupan manusia, tidak hanya dalam kegiatan ekonominya. Nelayan dan petani sangat memanfaatkan hubungan
ini dan lebih sering mendatangkan keuntungan. Dalam mencari nafkah, hubungan
ini berfungsi untuk kemudahan mendapatkan pekerjaan, mempermudah
pengorganisasian pekerjaan dan mengatasi munculnya konflik dalam kompetisi
pasar. Eksistensi seseorang di dalam solidaritas kekeluargaannya menentukan
jaminan hari depan mereka.
Solidaritas kekeluargaan ini diikat oleh nilai saling percaya di antara
mereka, dan mendasari tidak hanya hubungan sosial mereka, juga hubungan
kerjasama mereka. Oleh karena itu pinjam meminjam di antara mereka berlangsung
dengan sangat sederhana, banyak di antaranya tanpa jaminan. Kebutuhan akan
modal, lebih mudah dan lebih cepat. Masalah yang muncul akibat kesulitan
pengembalian diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Dari hubungan saling
percaya, berkembang menjadi hubungan tolong menolong dan berbagi rezeki dalam
mencari nafkah. Membantu teman yang
kesulitan apalagi kerabat dan tetangga dekat menjadi suatu kewajiban moral,
yang muncul dari keyakinan agama untuk banyak bersedekah kepada orang yang
tidak mampu, orang miskin dan kepada orang yang dalam kesulitan. Hutang
seringkali tidak terbayar, karena dianggap sedekah atau amal di dunia. Nilai-nilai moral tersebut menjadi prinsip
dasar pembentukan jalinan hubungan, sehingga keseimbangan supply dan demand tetap
terjaga. Sebetulnya ini bagian dari kearifan budaya lokal yang harus dipelihara.
Sedangkan solidaritas adalah bagian dari simbol budaya dalam masyarakat yang
digunakan/manfaatkan interest group untuk melanggengkan kepentingannya,
sehingga budaya “berbagi”dan “wajib bersedekah” digunakan untuk melegalkan korupsi berjama’ah.
Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung hanyalah lembaga lembaga tinggi negara, yang ketinggiannya secara realistis ditentukan oleh kemampuannya menegakkan keadilan dan memastikan bahwa hukum berjalan tanpa pandang bulu. Bukan malah terbawa arus melanggar kostitusi yang seharusnya dikawal. Bila pengawal konstitusi tidak dapat amanah dalam tugas, supremasi hukum tidak dapat ditegakkan lagi di bumi tercinta kita ini. Korupsi semakin menggurita dan aparat pemerintahan maupun politisi parlemen diragukan semakin kehilangan fungsinya. Mereka eksis secara fisik, tetapi secara personal, kewibawaan dan kekuasaannya semakin memudar.
[1]
Ibnu Khaldun menyatakan
masyarakat kota
diatur oleh jaringan, dimana persekutuan yang dibentuk berdasarkan pertalian
keluarga, pertukaran jasa, daerah asal yang sama, pengalaman institusional yang
sama, serta juga perekat paling kental yaitu kesamaan (keyakinan pribadi) atau
’Iman’(beralasan atau tidak) yang pada
umumnya berlandaskan pada hubungan-hubungan informal. Pada akhirnya masyarakat
tampaknya tidak memiliki perekat lain selain keyakinan pribadi di satu sisi dan
kesetiaan di sisi lain, yang dulu bersifat etnik, sekarang bersifat klien
(Gellner, 1994: 32). Sehingga dapat dikatakan unsur kekerabatan menjadi
bersifat kontekstual.