Sabtu, 30 Agustus 2014

Korupsi, Cermin Budaya Materialisme


Korupsi merupakan sebuah kata yang menjadi “hantu” para reformis yang sejak tahun 1999 ingin coba dieliminir.  Wacana ideal yang digulirkan dan pada saat itu mendapat dukungan dari seluruh masyarakat di segenap elemen, pada perjalanan operasionalnya ternyata tersendat-sendat kehilangan arah. Kendali reformasi seolah-olah diambilalih kembali oleh kelompok status quo, sebab format yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan secara umum relatif masih sama seperti sebelum reformasi. Akan tetapi perbaikan masih tetap ada walaupun tidak banyak, yaitu di bidang Hukum dan perundang-undangan, setelah amandemen UUD oleh legislatif.   Seharusnya Undang-undang yang dibuat setelah amandemen UUD tsb. dapat menjadi payung bagi berbagai permasalahan yang selama ini menghantui masyarakat, satu yang paling utama adalah memberantas korupsi. 

Pada perjalanannya, undang-undang anti korupsi inipun tidak berjalan dengan baik. Berbagai masalah korupsi yang melibatkan elite mantan pejabat dan kroninya senantiasa mengambang tanpa kepastian. Sebaliknya hingga beberapa kali pergantian pimpinan bangsa (mulai dari KH Abdurahman Wahid, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono), arah pemerintahan  cenderung berlawanan arah dengan reformasi, bahkan korupsi mengalami peningkatan lebih parah. Status quo  semakin  menancapkan kuku-kukunya dalam metamorfosis ke bentuk new status quo. Korupsi menjadi wabah yang dahsyat menulari hingga masyarakat pedesaan. Akankah korupsi yang sudah menguasai budaya Timur Indonesia ini tak dapat digoyahkan? Dan akankah kita mengalami kembali masa-masa 30 tahun yang menyengsarakan masyarakat kecil, dan membawa para elite menengah ke atas kepada kehidupan yang liberal, yang tidak lagi mengindahkan etika-moral? Begitu rapuhnyakah mental bangsa kita terhadap materi?

A. Budaya Materialisme
         Budaya materialisme  berasal dari pemikiran materalistis dari pemikiran Barat yang masuk ke dalam budaya IndonesiaMaterialisme adalah aliran dalam filsafat yang memandang bahwa segala sesuatu adalah realitas, dan keseluruhan realitas adalah materi. Bagi materialism bahwa di dalam hidup kemasyarakatan satu-satunya yang nyata adalah “ adanya masyarakat ” dan masyarakat itu berproduksi. (Materi itu berwujud, bukan abstrak). Budaya ini melahirkan pribadi-pribadi yang hanya memikirkan sandang, pangan dan papan. Pertentangan, perselisihan dan konflik yang akhirnya membawa pertumpahan darah, lebih banyak disebabkan oleh perebutan kedudukan, kekuasaan, pengaruh, wewenang, jabatan, hak milik untuk mendapatkan pengikut yang banyak. Banyaknya pengikut memberikan status dan privileges sendiri dalam budaya kita. 

Corak budaya seperti ini bersifat unik dan enkulturatif, perlu pemahaman historis-antropologis-ekonomi. Bila dahulu banyaknya pengikut disebabkan oleh daya karisma seseorang,  yang setiap kata dan tindakannya akan dijadikan panutan dan memberi privileges juga bagi yang dekat dengan tokoh ini, maka sekarang materi menjadi acuan ketokohan seseorang. Dahulu, karisma terdapat pada tokoh-tokoh ulama, guru dan orang yang memiliki ilmu (intelektual). Tapi saat ini, ketika ijazah telah menjadi bagian dari kedudukan dan status sosial masyarakat, ketokohan ulama, guru dan intelektual telah kehilangan kesakralannya. Karisma yang semula merupakan daya magnetis seseorang yang muncul dari pancaran kepribadian dan akhlaqnya, digantikan oleh kepemilikannya atas harta dan kekayaan. Materi menjadi segala-galanya untuk menjalani proses kehidupan ini. Akhirnya sikap pragmatis muncul untuk berlomba-lomba mendapatkan kehormatan, status, ketokohan ataupun kekuasaan. Dahulu budaya Patron-klien bersifat saling menguntungkan, dimana majikan atau pimpinan akan memberi perlindungan dan kesejahteraan bagi pengikut-pengikutnya dan sebaliknya pengikut-pengikut memberikan loyalitas dan dedikasinya untuk memperkuat posisi  majikan atau pimpinannya untuk jaminan kelangsungan kegiatan seluruh masyarakat.
Kini pimpinan lebih banyak melakukan eksploitasi kepada para pengikutnya, demi memperbesar kekuasaan  dan kekayaan, akibatnya jurang pemisah pimpinan dan masyarakatnya  semakin dalam, tingkat kehidupan si kaya dan si miskin semakin tidak seimbang. Ketidakseimbangan dalam pendapatan dan kehidupan  membuka peluang terjadinya manipulasi, dan tindakan manipulasi yang paling mudah dilakukan adalah korupsi. Lingkaran ini menjelaskan bagaimana korupsi dapat meluas mulai dari tingkat elite hingga masyarakat di bawah dalam segenap kehidupan. Hal tsb. diperparah dengan tidak ada satu elemen elite politikpun yang bersungguh-sungguh untuk mengakhiri praktek korupsi yang sudah menggurita ini.

B. Benarkah Korupsi Adalah Budaya?
Praktek Korupsi yang semakin menjadi-jadi ini, menunjukkan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat selama rezim orde baru. Lemahnya moral akhlaq para penegak kebenaran, mulai dari hakim, pengacara, jaksa, penyidik hingga aparat keamanan, mengakibatkan supremasi hukum hanya menjadi angan-angan. Budaya saling memberi yang berlandaskan pada keikhlasan sebagai amal shaleh dan amal jariah, diselewengkan menjadi budaya tau sama tau, yaitu kewajiban memberi bagi setiap orang yang mendapatkan pelayanan jasa, untuk sebuah tanda tangan, untuk kelancaran prosedur administrasi ataupun kemudahan-kemudahan lain. Praktek korupsi berlangsung menetap mulai dari penjaga pintu kereta, hingga tata usaha di kantor-kantor pemerintah (lih, Alatas Husin, 1999). Tetapi korupsi sebagai budaya masyarakat masih menjadi perdebatan di kalangan ahli-ahli sosiologi dan antropologi. Benarkah korupsi itu budaya? Atau implementasi dari budaya materialisme? Atau sebagai hasil kerja interest group dalam menggunakan simbol-simbol budaya dalam masyarakat untuk mendapatkan legalitas bagi tindakannya, sebagaimana mereka menggunakan simbol-simbol agama untuk melegalisasi suatu tindakan (pseudo coersive). Masyarakat Indonesia memiliki banyak simbol-simbol budaya mulai dari kelahiran anak, masa perjodohan, perkawinan hingga kematian, mulai dari membangun rumah, bekerja hingga penataan ruang, dan masih banyak lagi.  
 Bila penggunaan simbol-simbol agama untuk melanggengkan hukum dan norma-norma yang berpihak kepada penguasa (agar lebih powerfull), maka penggunaan simbol-simbol budaya lebih banyak dimanipulasi untuk mengalokasi sumber-sumber daya dan perluasan jaringan sosial (social network). Whitten dan Wolfe (Macmillan, 1986) mendefinisikan jaringan sosial sebagai serangkaian hubungan yang terbentuk diantara individu-individu dengan maksud membentuk sebuah basis guna memobilisasi mereka dan juga orang lain menghadapi suatu kepentingan tertentu. Oleh sebab itu dapat dipahami mengapa hubungan patron klien dalam ekonomi secara historis sangat langgeng dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipatahkan oleh kehadiran lembaga formal beserta kebijakan yang menyertainya. Institusi politik mengadopsi fenomena sosial-ekonomi ini untuk menguatkan dan memperluas simpatik, pengaruh dan kekuasaan. Sebagaimana dikatakan pula oleh Levi Strauss (Stack, 1969:54), barang-barang bukan komoditi ekonomis, namun sarana bagi realitas sebuah tatanan yang lain seperti: kekuasaan, pengaruh, simpati, status dan emosi. Dengan demikian apabila patron-klien menyusup ke dalam birokrasi suaqtu pemerintahan, maka sistem birokrasi yang terbentuk adalah birokrasi patrimonial. Sistem birokrasi seperti ini menjungkirbalikkan tatanan legal rasional, di mana fungsi administrasi dan fungsi  operasional saling terpisah.
            Sebelumnya mari kita teliti bagaimana kehidupan sosial-ekonomi masyarakat kita. Kompleksnya kegiatan ekonomi mendorong sejumlah aktifitas sosial sebagaimana yang ditemukan Malinowski (1961) dalam perdagangan “kula”, sehingga perdagangan yang berlangsung di dalamnya memiliki keterkaitan dengan sejumlah tradisi dan aturan-aturan. Komunitas atau “kelompok” manapun dalam masyarakat modern walaupun sudah bergerak menuju pola yang global, masih banyak berorientasi pada pola partikularistik, askriptif dan rasa hormat (penghargaan) yang berkembang dan berkelanjutan. Hal ini yang menjadi alasan mengapa di tingkat komunitas masyarakat usaha kecil, ikat-ikatan pertemanan, kekerabatan dan ketetanggaan mempunyai banyak orientasi partikularistik dan askriptif. Pada umumnya di latarbelakangi kebutuhan dan kendala  yang di hadapi dalam sistem ekonominya[1]. Jaringan hubungan pertemanan, kekerabatan dan berbagai kesamaan; latarbelakang, asal daerah atau iman (keyakinan) dijadikan sebagai dasar membangun ikatan “kepercayaan”, satu nilai terpenting dalam hubungan bisnis masyarakat kecil. Oleh sebab itu bentuk susunan (struktur) sosial dari kelompok-kelompok masyarakat kecil harus dilihat sebagai jaringan manusia-manusia yang bergerak berdasarkan pilihan-pilihan moral-rasional.

C. Korupsi: Memanfaatkan Simbol-simbol Kebudayaan
Hubungan kekeluargaan/kekerabatan menjadi satu aspek penting dalam seluruh kehidupan manusia, tidak hanya dalam kegiatan ekonominya.  Nelayan dan petani sangat memanfaatkan hubungan ini dan lebih sering mendatangkan keuntungan. Dalam mencari nafkah, hubungan ini berfungsi untuk kemudahan mendapatkan pekerjaan, mempermudah pengorganisasian pekerjaan dan mengatasi munculnya konflik dalam kompetisi pasar. Eksistensi seseorang di dalam solidaritas kekeluargaannya menentukan jaminan hari depan mereka.
Solidaritas kekeluargaan ini diikat oleh nilai saling percaya di antara mereka, dan mendasari tidak hanya hubungan sosial mereka, juga hubungan kerjasama mereka. Oleh karena itu pinjam meminjam di antara mereka berlangsung dengan sangat sederhana, banyak di antaranya tanpa jaminan. Kebutuhan akan modal, lebih mudah dan lebih cepat. Masalah yang muncul akibat kesulitan pengembalian diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Dari hubungan saling percaya, berkembang menjadi hubungan tolong menolong dan berbagi rezeki dalam mencari nafkah. Membantu  teman yang kesulitan apalagi kerabat dan tetangga dekat menjadi suatu kewajiban moral, yang muncul dari keyakinan agama untuk banyak bersedekah kepada orang yang tidak mampu, orang miskin dan kepada orang yang dalam kesulitan. Hutang seringkali tidak terbayar, karena dianggap sedekah atau amal di dunia.  Nilai-nilai moral tersebut menjadi prinsip dasar pembentukan jalinan hubungan, sehingga keseimbangan supply dan demand tetap terjaga. Sebetulnya ini bagian dari kearifan budaya lokal yang harus dipelihara.
Sedangkan solidaritas adalah bagian dari simbol budaya dalam masyarakat yang digunakan/manfaatkan interest group untuk melanggengkan kepentingannya, sehingga budaya “berbagi”dan “wajib bersedekah” digunakan untuk melegalkan korupsi berjama’ah.
     Dalam budaya materialisme, Allah tidak ada atau tidak berfungsi mengatur fenomena alam dan manusia. Budaya Materialisme merupakan akar permasalahan berkembangnya praktek korupsi (dan tindakan sejenisnya) di negeri kita ini. Bila kita telah mengikis habis budaya ini, diharapkan ada perbaikan dalam sumber daya manusia bangsa, sehingga semakin sedikit oknum-oknum dari mulai elite pemerintahan hingga masyarakat kecil yang melakukan pelanggaran hukum dan undang-undang. 
 Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung hanyalah lembaga lembaga tinggi negara, yang ketinggiannya secara realistis ditentukan oleh kemampuannya menegakkan keadilan dan memastikan bahwa hukum berjalan tanpa pandang bulu. Bukan malah terbawa arus melanggar kostitusi yang seharusnya dikawal. Bila pengawal konstitusi tidak dapat amanah dalam tugas, supremasi hukum tidak dapat ditegakkan lagi di bumi tercinta kita ini. Korupsi semakin menggurita dan aparat pemerintahan maupun politisi parlemen diragukan semakin kehilangan fungsinya. Mereka eksis secara fisik, tetapi secara personal, kewibawaan dan kekuasaannya semakin memudar.




[1] Ibnu Khaldun menyatakan masyarakat kota diatur oleh jaringan, dimana persekutuan yang dibentuk berdasarkan pertalian keluarga, pertukaran jasa, daerah asal yang sama, pengalaman institusional yang sama, serta juga perekat paling kental yaitu kesamaan (keyakinan pribadi) atau ’Iman’(beralasan  atau tidak) yang pada umumnya berlandaskan pada hubungan-hubungan informal. Pada akhirnya masyarakat tampaknya tidak memiliki perekat lain selain keyakinan pribadi di satu sisi dan kesetiaan di sisi lain, yang dulu bersifat etnik, sekarang bersifat klien (Gellner, 1994: 32). Sehingga dapat dikatakan unsur kekerabatan menjadi bersifat kontekstual.