Mengkaji dan memahami Islam sebagai sebuah struktur kehidupan, telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai paradigma. Akan tetapi satu syarat yang harus ditaati dalam kode etik keilmuan yaitu, mengkaji atau menganalisa sebuah teori atau hukum-hukum dengan mengambil sumber aslinya. Misalnya bila ingin memahami dan menganalisa buah pikiran dan teori-teori “Tindakan” Talcott Parsons maka kita menganalisa pada buku “Toward social theory of actions” atau dari tulisan-tulisannya yang lain yang berkenaan dengan teori tersebut, bukan dari buku-buku karya orang lain.
Demikian halnya aturan ini juga berlaku dalam memahami dan mengkaji Islam, kita akan mendapatkan penafsiran yang akurat bila langsung merujuk kepada Al Qur’an, dan bukan kepada buku-buku karangan ahli Islam atau yang masuk dalam pembahasan dialektika studi Islam. Buku-buku atau tulisan-tulisan selain Al Qur’an dan Al Hadits, berfungsi komplementer atau komparatif. Memahami syariah (hukum) di dalam Al Qur’an sebagai bagian dari struktur kehidupan manusia dan bukan mengkaji Al Qur’an sebagai sebuah syariah (hukum) saja, merupakan konsekwensi logis dari Islam sebagai Ad Diin. Dengan demikian Al Qur’an bersama-sama dengan Al Hadits adalah sumber tekstual utama untuk memahami Islam. Kita simak surah Al Baqarah ayat 185: “Dalam bulan Ramadhan itu diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk untuk manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda antara yang haq dan bathil…” Penjelasan-penjelasan tentang ayat-ayat nya dapat ditemukan pada ayat-ayat lain, yang masing-masing ayat tersebut saling berhubungan, menjelaskan dan menguatkan, sebagaimana fungsinya sebagaii bayyan (penjelasan), furqon (pembanding), hudan (sumber rujukan) dan syifa (solusi).
Menterjemahkan dan mengkaji Al Qur’an dengan ketentuan seperti ini mengeliminir faktor bias dalam menghasilkan kesimpulan. Faktor bias seringkali muncul apabila kita mencoba memahami Al Qur’an, melalui kitab-kitab terjemahan dan tafsir saja tanpa merujuk lagi kepada Al Qur’an. Selanjutnya apabila kita memahami dan mengkaji Islam dengan cara seperti di atas, maka kita menemukan suatu kajian yang holistik dan juga in-depth untuk setiap nilai-nilai (tema-tema) pembahasannya. Kita tidak hanya menemukan pemahamaman sekuler didalamnya, tetapi juga harmoni antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat di dalam suatu sistem, di mana antara satu unsur dengan unsur lainnya saling berkontribusi terhadap yang lainnya. Islam juga menjelaskan keterkaitan yang erat antara kewajiban sosial dan kepentingan individual seseorang. Islam juga tidak memberi bobot berlebih terhadap hak azasi insani daripada menghormati hak orang lain. Islam juga tidak melakukan dikotomi antara sipil dan militer, melainkan senantiasa berada di tengah-tengah.
Dengan mengkaji dalam suatu kajian yang holistik, selanjutnya kita dapat memahami posisi tengah-tengahnya ini dan mampu memetakan serta merekonstruksi struktur kehidupan ummatnya.
Struktur disini merupakan titik-titik yang saling berhubungan satu dengan yang lain, di mana garis-garis hubungan-hubungan tersebut bersifat dinamis, bergabung, berpisah atau berkelompok. Senantiasa berubah atau kembali kepada bentuk semula, tetapi seluruh mobilitas tersebut berada pada suatu aturan dan formasi yang terkonstruksi secara stabil dalam sebuah frame besar. Titik-titik yang saling berhubungan di sini adalah ummat Islam, yang ketika melakukan kontak dengan insan lainnya akan tetap menggunakan frame tersebut sebagai landasan jati dirinya. Dengan demikian dapat dikatakan ummat Islam senantiasa tumbuh, bergerak dan berkembang secara dinamis di dalam sebuah struktur kehidupan yang stabil dan mantap.