Jumat, 04 Juli 2008

Dari Civil Society Ke Civil Religion

Oleh: Dra. Endang Rudiatin Sosrosoediro, M.Si

Manusia adalah produk sejarah, lingkungan sosial, dan alam, bukan hanya produk adat istiadat nenek moyangnya. Pendapat Ibnu Khaldun yang dituangkan dalam karya besarnya "Al Muqaddimah" yang ditulisnya pada abad 13, relevan dalam menyoroti proses pendidikan di Indonesia. Perkembangan manusia tidak lepas dari kultur di mana dia berada. Kultur di sini bukan hanya me-refer pada kebudayaan sebatas suku atau etnis tertentu, melainkan menjadi suatu konstruksi kombinasi multi dimensi, yaitu latar belakang agama, suku/etnik, lingkungan sosial-budaya dan alam seseorang dalam seluruh proses kehidupannya. Maka proses integrasi berbagai kultur yang dimiliki dan dan terlibat dalam proses transformasi sosial, mencirikan proses multikulturalis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada umumnya, proses internalisasi nilai-nilai dan norma agama diterima, disepakati, didukung dan dikembangkan serta dijadikan pedoman oleh ummatnya dari berbagai kultur di dalam seluruh sendi kehidupannya. Oleh sebab itu, diasumsikan bahwa agama cukup dominan mewarnai proses multikulturalis dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Nilai-nilai agama mengalami proses interpretasi ke dalam diri aktor-aktor/agen, yang kemudian mereproduksi dalam perilaku. Bagaimana agama berperan dalam transformasi sosial dan implikasinya terhadap pembentukan perilaku masyarakat di Andalusia Spanyol, membawa pemikiran Ibnu Khaldun kepada konsep civil society yang unik dan berbeda dengan yang kita temui dalam perkembangan civil society selama ini, yang kemudian oleh beberapa kalangan diterjemahkan sebagai masyarakat madani.

Civil Society

Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.

Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih. Gellner:1996).

Seperti Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin. Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya, masyarakat sipil.

Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.

Civil Religion

Demokratisasi di sisi lain memunculkan friksi antara masyarakat, agama dan negara. Sebagai negara yang menggunakan pilar agama sebagai landasan perjuangan dan cita-cita bangsa sebagaimana tertuang di dalam pembukaan UUD 45 (Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa.........), meletakkan kehidupan agama diatur oleh negara. Tujuannya tak lain untuk melindungi dan menjamin warga negara dapat menjalankan ibadah agamanya masing-masing dengan baik. Sebagian masyarakat Muslim bahkan meyakini bahwa Pembukaan UUD 45 dijiwai oleh Piagam Jakarta sebagaimana disebutkan juga dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (Kembali kepada UUD 45 yang dijiwai oleh piagam Jakarta). Artinya keyakinan agama merupakan ruh bagi setiap bangsa Indonesia dalam membangun bangsa dan negara ini. Lalu civil religion berkembang seiring dengan keinginan sekelompok masyarakat yang memposisikan agama di tengah perubahan sosial, dengan mengadopsi konsep civil religion bangsa Amerika, yaitu agama dalam masyarakat modern adalah sebagai sandaran transendental. Kehidupan beragama berjalan bersama proses transformasi sosial. Dalam masyarakatnya yang majemuk, agama yang dianut dan berkembang juga beragama, tetapi keragaman agama itu tidak mendapat tempat untuk diekspresikan dalam bentuk simbol-simbol formal.

Pada masyarakat Indonesia, kadang-kadang pejabat negara memperingati acara keagamaan yang dianutnya, seperti msalnya perayaan hari-hari besar dalam agama Islam, yaitu Idul Adha, dimana beberapa instansi menyelenggarakan pemotongan hewan bersama-sama, sholat bersama atau misalnya memperingati Malam Nuzulul Qur’an, buka bersama. Disebabkan di dalam kultur politik masyarakat Indonesia yang berbentuk paguyuban (bahkan di kota-kota besar sekalipun), masih melekat budaya patron-klien, maka apabila seorang pemimpin negara menghadiri dan memperingati acara-acara keagamaan tsb. seluruh staf dan para pembantu-pembantunya akan ikut mengiringi. Fenomena ini yang kemudian banyak dipahami sebagai mengekspresikan agama ke dalam simbol-simbol formal. Tetapi alangkah memprihatinkan, apabila seorang pemimpin dengan alasan menghindari formalisasi simbol-simbol agama, lalu kehilangan haknya untuk berada dan aktif dalam lingkungan agamanya. Tidak dapat kita pungkiri bahwa seringkali simbol-simbol agama dipergunakan sebagai alat politik, melegalkan tindakan-tindakan politik yang bertentangan dengan sekelompok atau beberapa kelompok masyarakat. Tindakan-tindakan seperti ini membuat makna kemajemukan yang harmonis tereliminir. Kemampuan setiap masyarakat untuk dapat menerima perbedaan dalam kemajemukan beragama merupakan tuntutan masyarakat pluralistik. Dengan demikian setiap umat beragama dapat leluasa dan tanpa kekhawatiran dapat melaksanakan ritual agamanya masing-masing, tanpa perlu melakukan penyeragaman, sebab integrasi tidak sama dengan penyeragaman.

Satu pilar utama dalam kehidupan beragama yang majemuk yang harus selalu dijaga dan dijunjung tinggi adalah, ”setiap agama telah memiliki batas-batas koridor masing-masing, sehingga apabila dalam perkembangannya setiap agama yang keluar dari koridor itu, akan membawa keresahan dalam masyarakat agamanya, dan untuk itulah pemerintah bertugas menata dan menyeimbangkan kembali”. Sebagaimana konsep Durkheim, setiap individu dalam masyarakat akan memiliki kecenderungan untuk saling berinteraksi dan saling menyumbang bagi solidaritas sosialnya. Sumbangan individu-individu itu kemudin disepakati bersama dan melahirkan suatu konsep bersama yang ditaati bersama. Sebuah konsep integrasi sosial yang dapat berlaku tidak saja dalam kehidupan sosial masyarakat, tetapi juga kehidupan beragamanya. Levi Strauss dengan konsep strukturalisnya berpendapat, bahwa tidak ada suatu masyarakatpun yang tidak membutuhkan aturan, manusia memiliki naluri untuk itu. Dan civil society serta civil religion berkembang tanpa perlu mendiskreditkan satu kelompok masyarakat dataun satu kelompok agama.

referensi : Komisi Infokom
http://www.mui.or.id/mui_in/article.php?ac

Tidak ada komentar: