Sabtu, 30 Agustus 2014

Korupsi, Cermin Budaya Materialisme


Korupsi merupakan sebuah kata yang menjadi “hantu” para reformis yang sejak tahun 1999 ingin coba dieliminir.  Wacana ideal yang digulirkan dan pada saat itu mendapat dukungan dari seluruh masyarakat di segenap elemen, pada perjalanan operasionalnya ternyata tersendat-sendat kehilangan arah. Kendali reformasi seolah-olah diambilalih kembali oleh kelompok status quo, sebab format yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan secara umum relatif masih sama seperti sebelum reformasi. Akan tetapi perbaikan masih tetap ada walaupun tidak banyak, yaitu di bidang Hukum dan perundang-undangan, setelah amandemen UUD oleh legislatif.   Seharusnya Undang-undang yang dibuat setelah amandemen UUD tsb. dapat menjadi payung bagi berbagai permasalahan yang selama ini menghantui masyarakat, satu yang paling utama adalah memberantas korupsi. 

Pada perjalanannya, undang-undang anti korupsi inipun tidak berjalan dengan baik. Berbagai masalah korupsi yang melibatkan elite mantan pejabat dan kroninya senantiasa mengambang tanpa kepastian. Sebaliknya hingga beberapa kali pergantian pimpinan bangsa (mulai dari KH Abdurahman Wahid, Megawati hingga Susilo Bambang Yudhoyono), arah pemerintahan  cenderung berlawanan arah dengan reformasi, bahkan korupsi mengalami peningkatan lebih parah. Status quo  semakin  menancapkan kuku-kukunya dalam metamorfosis ke bentuk new status quo. Korupsi menjadi wabah yang dahsyat menulari hingga masyarakat pedesaan. Akankah korupsi yang sudah menguasai budaya Timur Indonesia ini tak dapat digoyahkan? Dan akankah kita mengalami kembali masa-masa 30 tahun yang menyengsarakan masyarakat kecil, dan membawa para elite menengah ke atas kepada kehidupan yang liberal, yang tidak lagi mengindahkan etika-moral? Begitu rapuhnyakah mental bangsa kita terhadap materi?

A. Budaya Materialisme
         Budaya materialisme  berasal dari pemikiran materalistis dari pemikiran Barat yang masuk ke dalam budaya IndonesiaMaterialisme adalah aliran dalam filsafat yang memandang bahwa segala sesuatu adalah realitas, dan keseluruhan realitas adalah materi. Bagi materialism bahwa di dalam hidup kemasyarakatan satu-satunya yang nyata adalah “ adanya masyarakat ” dan masyarakat itu berproduksi. (Materi itu berwujud, bukan abstrak). Budaya ini melahirkan pribadi-pribadi yang hanya memikirkan sandang, pangan dan papan. Pertentangan, perselisihan dan konflik yang akhirnya membawa pertumpahan darah, lebih banyak disebabkan oleh perebutan kedudukan, kekuasaan, pengaruh, wewenang, jabatan, hak milik untuk mendapatkan pengikut yang banyak. Banyaknya pengikut memberikan status dan privileges sendiri dalam budaya kita. 

Corak budaya seperti ini bersifat unik dan enkulturatif, perlu pemahaman historis-antropologis-ekonomi. Bila dahulu banyaknya pengikut disebabkan oleh daya karisma seseorang,  yang setiap kata dan tindakannya akan dijadikan panutan dan memberi privileges juga bagi yang dekat dengan tokoh ini, maka sekarang materi menjadi acuan ketokohan seseorang. Dahulu, karisma terdapat pada tokoh-tokoh ulama, guru dan orang yang memiliki ilmu (intelektual). Tapi saat ini, ketika ijazah telah menjadi bagian dari kedudukan dan status sosial masyarakat, ketokohan ulama, guru dan intelektual telah kehilangan kesakralannya. Karisma yang semula merupakan daya magnetis seseorang yang muncul dari pancaran kepribadian dan akhlaqnya, digantikan oleh kepemilikannya atas harta dan kekayaan. Materi menjadi segala-galanya untuk menjalani proses kehidupan ini. Akhirnya sikap pragmatis muncul untuk berlomba-lomba mendapatkan kehormatan, status, ketokohan ataupun kekuasaan. Dahulu budaya Patron-klien bersifat saling menguntungkan, dimana majikan atau pimpinan akan memberi perlindungan dan kesejahteraan bagi pengikut-pengikutnya dan sebaliknya pengikut-pengikut memberikan loyalitas dan dedikasinya untuk memperkuat posisi  majikan atau pimpinannya untuk jaminan kelangsungan kegiatan seluruh masyarakat.
Kini pimpinan lebih banyak melakukan eksploitasi kepada para pengikutnya, demi memperbesar kekuasaan  dan kekayaan, akibatnya jurang pemisah pimpinan dan masyarakatnya  semakin dalam, tingkat kehidupan si kaya dan si miskin semakin tidak seimbang. Ketidakseimbangan dalam pendapatan dan kehidupan  membuka peluang terjadinya manipulasi, dan tindakan manipulasi yang paling mudah dilakukan adalah korupsi. Lingkaran ini menjelaskan bagaimana korupsi dapat meluas mulai dari tingkat elite hingga masyarakat di bawah dalam segenap kehidupan. Hal tsb. diperparah dengan tidak ada satu elemen elite politikpun yang bersungguh-sungguh untuk mengakhiri praktek korupsi yang sudah menggurita ini.

B. Benarkah Korupsi Adalah Budaya?
Praktek Korupsi yang semakin menjadi-jadi ini, menunjukkan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari budaya masyarakat selama rezim orde baru. Lemahnya moral akhlaq para penegak kebenaran, mulai dari hakim, pengacara, jaksa, penyidik hingga aparat keamanan, mengakibatkan supremasi hukum hanya menjadi angan-angan. Budaya saling memberi yang berlandaskan pada keikhlasan sebagai amal shaleh dan amal jariah, diselewengkan menjadi budaya tau sama tau, yaitu kewajiban memberi bagi setiap orang yang mendapatkan pelayanan jasa, untuk sebuah tanda tangan, untuk kelancaran prosedur administrasi ataupun kemudahan-kemudahan lain. Praktek korupsi berlangsung menetap mulai dari penjaga pintu kereta, hingga tata usaha di kantor-kantor pemerintah (lih, Alatas Husin, 1999). Tetapi korupsi sebagai budaya masyarakat masih menjadi perdebatan di kalangan ahli-ahli sosiologi dan antropologi. Benarkah korupsi itu budaya? Atau implementasi dari budaya materialisme? Atau sebagai hasil kerja interest group dalam menggunakan simbol-simbol budaya dalam masyarakat untuk mendapatkan legalitas bagi tindakannya, sebagaimana mereka menggunakan simbol-simbol agama untuk melegalisasi suatu tindakan (pseudo coersive). Masyarakat Indonesia memiliki banyak simbol-simbol budaya mulai dari kelahiran anak, masa perjodohan, perkawinan hingga kematian, mulai dari membangun rumah, bekerja hingga penataan ruang, dan masih banyak lagi.  
 Bila penggunaan simbol-simbol agama untuk melanggengkan hukum dan norma-norma yang berpihak kepada penguasa (agar lebih powerfull), maka penggunaan simbol-simbol budaya lebih banyak dimanipulasi untuk mengalokasi sumber-sumber daya dan perluasan jaringan sosial (social network). Whitten dan Wolfe (Macmillan, 1986) mendefinisikan jaringan sosial sebagai serangkaian hubungan yang terbentuk diantara individu-individu dengan maksud membentuk sebuah basis guna memobilisasi mereka dan juga orang lain menghadapi suatu kepentingan tertentu. Oleh sebab itu dapat dipahami mengapa hubungan patron klien dalam ekonomi secara historis sangat langgeng dari waktu ke waktu dan tidak dapat dipatahkan oleh kehadiran lembaga formal beserta kebijakan yang menyertainya. Institusi politik mengadopsi fenomena sosial-ekonomi ini untuk menguatkan dan memperluas simpatik, pengaruh dan kekuasaan. Sebagaimana dikatakan pula oleh Levi Strauss (Stack, 1969:54), barang-barang bukan komoditi ekonomis, namun sarana bagi realitas sebuah tatanan yang lain seperti: kekuasaan, pengaruh, simpati, status dan emosi. Dengan demikian apabila patron-klien menyusup ke dalam birokrasi suaqtu pemerintahan, maka sistem birokrasi yang terbentuk adalah birokrasi patrimonial. Sistem birokrasi seperti ini menjungkirbalikkan tatanan legal rasional, di mana fungsi administrasi dan fungsi  operasional saling terpisah.
            Sebelumnya mari kita teliti bagaimana kehidupan sosial-ekonomi masyarakat kita. Kompleksnya kegiatan ekonomi mendorong sejumlah aktifitas sosial sebagaimana yang ditemukan Malinowski (1961) dalam perdagangan “kula”, sehingga perdagangan yang berlangsung di dalamnya memiliki keterkaitan dengan sejumlah tradisi dan aturan-aturan. Komunitas atau “kelompok” manapun dalam masyarakat modern walaupun sudah bergerak menuju pola yang global, masih banyak berorientasi pada pola partikularistik, askriptif dan rasa hormat (penghargaan) yang berkembang dan berkelanjutan. Hal ini yang menjadi alasan mengapa di tingkat komunitas masyarakat usaha kecil, ikat-ikatan pertemanan, kekerabatan dan ketetanggaan mempunyai banyak orientasi partikularistik dan askriptif. Pada umumnya di latarbelakangi kebutuhan dan kendala  yang di hadapi dalam sistem ekonominya[1]. Jaringan hubungan pertemanan, kekerabatan dan berbagai kesamaan; latarbelakang, asal daerah atau iman (keyakinan) dijadikan sebagai dasar membangun ikatan “kepercayaan”, satu nilai terpenting dalam hubungan bisnis masyarakat kecil. Oleh sebab itu bentuk susunan (struktur) sosial dari kelompok-kelompok masyarakat kecil harus dilihat sebagai jaringan manusia-manusia yang bergerak berdasarkan pilihan-pilihan moral-rasional.

C. Korupsi: Memanfaatkan Simbol-simbol Kebudayaan
Hubungan kekeluargaan/kekerabatan menjadi satu aspek penting dalam seluruh kehidupan manusia, tidak hanya dalam kegiatan ekonominya.  Nelayan dan petani sangat memanfaatkan hubungan ini dan lebih sering mendatangkan keuntungan. Dalam mencari nafkah, hubungan ini berfungsi untuk kemudahan mendapatkan pekerjaan, mempermudah pengorganisasian pekerjaan dan mengatasi munculnya konflik dalam kompetisi pasar. Eksistensi seseorang di dalam solidaritas kekeluargaannya menentukan jaminan hari depan mereka.
Solidaritas kekeluargaan ini diikat oleh nilai saling percaya di antara mereka, dan mendasari tidak hanya hubungan sosial mereka, juga hubungan kerjasama mereka. Oleh karena itu pinjam meminjam di antara mereka berlangsung dengan sangat sederhana, banyak di antaranya tanpa jaminan. Kebutuhan akan modal, lebih mudah dan lebih cepat. Masalah yang muncul akibat kesulitan pengembalian diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Dari hubungan saling percaya, berkembang menjadi hubungan tolong menolong dan berbagi rezeki dalam mencari nafkah. Membantu  teman yang kesulitan apalagi kerabat dan tetangga dekat menjadi suatu kewajiban moral, yang muncul dari keyakinan agama untuk banyak bersedekah kepada orang yang tidak mampu, orang miskin dan kepada orang yang dalam kesulitan. Hutang seringkali tidak terbayar, karena dianggap sedekah atau amal di dunia.  Nilai-nilai moral tersebut menjadi prinsip dasar pembentukan jalinan hubungan, sehingga keseimbangan supply dan demand tetap terjaga. Sebetulnya ini bagian dari kearifan budaya lokal yang harus dipelihara.
Sedangkan solidaritas adalah bagian dari simbol budaya dalam masyarakat yang digunakan/manfaatkan interest group untuk melanggengkan kepentingannya, sehingga budaya “berbagi”dan “wajib bersedekah” digunakan untuk melegalkan korupsi berjama’ah.
     Dalam budaya materialisme, Allah tidak ada atau tidak berfungsi mengatur fenomena alam dan manusia. Budaya Materialisme merupakan akar permasalahan berkembangnya praktek korupsi (dan tindakan sejenisnya) di negeri kita ini. Bila kita telah mengikis habis budaya ini, diharapkan ada perbaikan dalam sumber daya manusia bangsa, sehingga semakin sedikit oknum-oknum dari mulai elite pemerintahan hingga masyarakat kecil yang melakukan pelanggaran hukum dan undang-undang. 
 Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung hanyalah lembaga lembaga tinggi negara, yang ketinggiannya secara realistis ditentukan oleh kemampuannya menegakkan keadilan dan memastikan bahwa hukum berjalan tanpa pandang bulu. Bukan malah terbawa arus melanggar kostitusi yang seharusnya dikawal. Bila pengawal konstitusi tidak dapat amanah dalam tugas, supremasi hukum tidak dapat ditegakkan lagi di bumi tercinta kita ini. Korupsi semakin menggurita dan aparat pemerintahan maupun politisi parlemen diragukan semakin kehilangan fungsinya. Mereka eksis secara fisik, tetapi secara personal, kewibawaan dan kekuasaannya semakin memudar.




[1] Ibnu Khaldun menyatakan masyarakat kota diatur oleh jaringan, dimana persekutuan yang dibentuk berdasarkan pertalian keluarga, pertukaran jasa, daerah asal yang sama, pengalaman institusional yang sama, serta juga perekat paling kental yaitu kesamaan (keyakinan pribadi) atau ’Iman’(beralasan  atau tidak) yang pada umumnya berlandaskan pada hubungan-hubungan informal. Pada akhirnya masyarakat tampaknya tidak memiliki perekat lain selain keyakinan pribadi di satu sisi dan kesetiaan di sisi lain, yang dulu bersifat etnik, sekarang bersifat klien (Gellner, 1994: 32). Sehingga dapat dikatakan unsur kekerabatan menjadi bersifat kontekstual.


Senin, 12 Agustus 2013

Lost Generation: Mengapa Suatu Pendidikan Mengalami Kemunduran

1. Rendahnya Pendidikan Sebab Rendahnya Peradaban 

          Generasi yang hilang (lost generation), merupakan sebuah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan potret generasi muda yang sudah mulai kehilangan idealismenya, dan daya juangnya. Idealisme dan daya juang yang terpangkas habis akan mengakibatkan sebuah generasi kehilangan rasa kebangsaan, kehilangan identitas suku, kehilangan jati diri, bahkan kehilangan harga diri. Hal ini disebabkan karena generasi seperti ini, tidak memiliki landasan yang dapat dipergunakan bagi mereka menjadi acuan bagi kehidupannya, sehingga mereka mudah terbawa arus dan tercabut dari akar identitasnya. Suatu landasan yang mengikat idealisme dan daya juang menjadi suatu kekuatan untuk dapat berbuat banyak dalam hidup ini, yaitu landasan iman kepada Allah SWT. Apabila kebudayaan adalah juga peradaban, maka dengan mengutip kesimpulan Ibnu Khaldun tentang pendidikan, ditemukan bahwa rendahnya pendidikan suatu bangsa disebabkan rendahnya peradaban. Kesimpulan ini ditemukannya di Andalusia Spanyol dan di Maroko. Lembaga pengajaran ilmiah telah lenyap di Andalusia, sedangkan di Maroko sistem pengajarannya memburuk, akibatnya masa penyelesaian pendidikan di Maroko menjadi lebih lama dibandingkan di Tunisia. Terlupanya para ilmuwan Muslim di Andalusia terhadap kesinambungan pendidikan dan keilmuan, yaitu regenerasi dan kaderisasi, juga merupakan faktor penyebab mundurnya peradaban mereka. Disaat itu pula peristiwa dibunuh dan lenyapnya para ilmuwan Muslim yang sekaligus beribu-ribu buku ilmu pengetahuan mereka dibakar, setelah diterjemahkan dalam bahasa Spanyol dan Inggris, yang kemudian banyak diplagiat selanjutnya dikenal dengan peristiwa jatuhnya Cordoba. Sedangkan negeri Maroko mendapatkan peradabannya dari Andalusia, yang penduduknya diusir keluar dan berimigrasi ke Maroko, Tunisia dan Mesir. 
       Kemudian disebabkan oleh terputusnya tradisi ilmu dan pengajaran (tidak adanya kaderisasi dan regenerasi), maka perkembangan ilmu pengetahuan berhenti, seiring dengan merosotnya peradaban. Selanjutnya menurut Ibnu Khaldun, masyarakat berbudaya memiliki banyak keahlian dan mahir dalam bidang keahlian itu, serta memiliki metode-metode pengajaran ilmunya dengan baik. Kelebihan masyarakat berbudaya terletak pada bagaimana mereka memoles dengan baik keahlian-keahlian dan pengajaran ilmiah yang mereka terima. Orang-orang berbudaya memiliki peraturan-peraturan bertingkah laku (adat istiadat) untuk segala sesuatu yang akan mereka lakukan dan yang tidak mereka lakukan. Mereka memiliki aturan-aturan tertentu dalam menjalani kehidupan, mendirikan tempat tinggal, mendirikan bangunan, menangani masalah-masalah agama dan dunia serta seluruh kegiatan mereka. Tatakrama (etika) menjadi batas-batas perilaku mereka, bersamaan dengan itu tatakrama tersebut adalah keahlian yang diterima generasi terakhir dari generasi sebelumnya. Tidak diragukan lagi, setiap keahlian mempengaruhi dan menggerakkan jiwa untuk meningkatkan intelektual dan selalu siap menerima keahlian lain. Dengan demikian intelektual terbiasa siap menerima pengetahuan dengan cepat (sekarang yang digandrungi sebagai memiliki keseimbangan IQ EQ).       
         Hal-hal demikian yang membedakan masyarakat berbudaya dengan masyarakat yang mulai mengalami kemunduran peradaban. Ketika suatu masyarakat mulai mengalami ketinggian peradaban, keahlian semakin meningkat, ilmu dan teknologi berkembang pesat, manusia mulai hidup lebih mudah dengan berbagai fasilitas, pada saat itu mulai muncul kebiasaan hidup mewah (hadlarah). Kebutuhan sekunder menjadi sama seperti layaknya kebutuhan primer. Seiring dengan itu pula, tindakan-tindakan immoralitas juga berkembang, muncul korupsi sebagai akibat keinginan untuk memenuhi kebutuhan dan hidup mewah. Penipuan, kecurangan, perjudian dan segala tindakan yang mengarah kepada dekadensi moral mulai sulit dibendung. Pada saat inilah suatu peradaban mulai berakhir. Tatakrama, adat istiadat serta agama mulai kehilangan kendalinya atas manusia. Mereka tidak menjaga semua itu, karena telah diwarnai adat istiadat baru dan terasa sukar untuk menariknya (istilah sekarang trend). Seluruh manusia masuk dalam pusaran dan terikat dalam kondisi tersebut. Di sela-sela kehidupan seperti ini, generasi-generasi baru mulai kehilangan keahlian, dalam hal ini kultur dan ilmu pengetahuan yang seharusnya diestafetkan kepada mereka. Generasi ini menjadi generasi yang hilang (lost generation). 

2. Ilmu Pengetahuan dan Peradaban 

          Jika sistem pendidikan kita tidak pernah selesai dalam mencari formatnya yang baku, maka sulit untuk mengestafetkan kultur dan ilmu pengetahuan secara lancar dan berkesinambungan pada generasi selanjutnya. Yang lebih penting lagi adalah apa yang menjadi landasan mereka untuk melakukan regenerasi dan kaderisasi dalam kultur dan ilmu pengetahuan? Landasan yang paling hakiki seyogyanya adalah agama, sebab agama adalah ruh, pemicu motivasi dan penuntun jiwa yang mengemudikan manusia dalam melakukan berbagai kegiatan dan menentukan tujuan hidup. Untuk apa kita hidup, untuk apa kita mencari ilmu dan untuk apa semua yang kita lakukan kemarin, kini dan yang akan datang? 
          Apabila kita selama ini merencanakan suatu pendidikan tidak hanya meliputi pengembangan kognisi saja melainkan juga jiwa sebagai suatu kesatuan sistem pendidikan, maka kita sudah berada pada jalur yang tepat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan multikulturalis juga mencakup tidak saja pendidikan dan pengajaran logika melainkan juga pendidikan dan pengajaran jiwa/mental. Disinilah agama berperan mewarnai sistem pendidikan. Kala perkembangan Ilmu Pengetahuan di Andalusia Spanyol telah mencapai puncak keemasannya, di teras-teras masjid, para ulama dan santri-santrinya berdiskusi tentang berbagai ilmu. Pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu logika saling berintegrasi-komplementer dengan pendidikan dan pengajaran ilmu-ilmu etika-moral yang semuanya dilandaskan pada syari’ah agama yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasululllah. Masa itu tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu duniawi dan ilmu-ilmu ukhrowi, sebab tidak ada sekularisasi dalam pelaksanaan hukum-hukum syari’ah. Ilmu pengetahuan juga berkembang pesat di Baghdad, Cordoba, Basrah dan Kufah (Iran) dan begitu melimpah di kota-kota, yang memiliki peradaban lebih tinggi daripada didesa-desa, sehingga orang-orang di desa yang ingin mendapatkan ilmu pengetahuan, yang tidak akan mendapatkannya di desa, harus pergi ke kota dan di sanalah mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kemudian ketika peradaban itupun sirna, ilmu pengetahuanpun mulai merosot.

Kamis, 08 Agustus 2013

ISLAM DAN UMAT ISLAM (Teknik Memahami Islam)

       Mengkaji dan memahami Islam sebagai sebuah struktur kehidupan, telah banyak dilakukan dengan menggunakan berbagai paradigma. Akan tetapi satu syarat yang harus ditaati dalam kode etik keilmuan yaitu, mengkaji atau menganalisa sebuah teori atau hukum-hukum dengan mengambil sumber aslinya. Misalnya bila ingin memahami dan menganalisa buah pikiran dan teori-teori “Tindakan” Talcott Parsons maka kita menganalisa pada buku “Toward social theory of actions” atau dari tulisan-tulisannya yang lain yang berkenaan dengan teori tersebut, bukan dari buku-buku karya orang lain.
        Demikian halnya aturan ini juga berlaku dalam memahami dan mengkaji Islam, kita akan mendapatkan penafsiran yang akurat bila langsung merujuk kepada Al Qur’an, dan bukan kepada buku-buku karangan ahli Islam atau yang masuk dalam pembahasan dialektika studi Islam. Buku-buku atau tulisan-tulisan selain Al Qur’an dan Al Hadits, berfungsi komplementer atau komparatif. Memahami syariah (hukum) di dalam Al Qur’an sebagai bagian dari struktur kehidupan manusia dan bukan mengkaji Al Qur’an sebagai sebuah syariah (hukum) saja, merupakan konsekwensi logis dari Islam sebagai Ad Diin. Dengan demikian Al Qur’an bersama-sama dengan Al Hadits adalah sumber tekstual utama untuk memahami Islam. Kita simak surah Al Baqarah ayat 185: “Dalam bulan Ramadhan itu diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk untuk manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda antara yang haq dan bathil…” Penjelasan-penjelasan tentang ayat-ayat nya dapat ditemukan pada ayat-ayat lain, yang masing-masing ayat tersebut saling berhubungan, menjelaskan dan menguatkan, sebagaimana fungsinya sebagaii bayyan (penjelasan), furqon (pembanding), hudan (sumber rujukan) dan syifa (solusi).
        Menterjemahkan dan mengkaji Al Qur’an dengan ketentuan seperti ini mengeliminir faktor bias dalam menghasilkan kesimpulan. Faktor bias seringkali muncul apabila kita mencoba memahami Al Qur’an, melalui kitab-kitab terjemahan dan tafsir saja tanpa merujuk lagi kepada Al Qur’an. Selanjutnya apabila kita memahami dan mengkaji Islam dengan cara seperti di atas, maka kita menemukan suatu kajian yang holistik dan juga in-depth untuk setiap nilai-nilai (tema-tema) pembahasannya. Kita tidak hanya menemukan pemahamaman sekuler didalamnya, tetapi juga harmoni antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat di dalam suatu sistem, di mana antara satu unsur dengan unsur lainnya saling berkontribusi terhadap yang lainnya. Islam juga menjelaskan keterkaitan yang erat antara kewajiban sosial dan kepentingan individual seseorang. Islam juga tidak memberi bobot berlebih terhadap hak azasi insani daripada menghormati hak orang lain. Islam juga tidak melakukan dikotomi antara sipil dan militer, melainkan senantiasa berada di tengah-tengah. 
       Dengan mengkaji dalam suatu kajian yang holistik, selanjutnya kita dapat memahami posisi tengah-tengahnya ini dan mampu memetakan serta merekonstruksi struktur kehidupan ummatnya. Struktur disini merupakan titik-titik yang saling berhubungan satu dengan yang lain, di mana garis-garis hubungan-hubungan tersebut bersifat dinamis, bergabung, berpisah atau berkelompok. Senantiasa berubah atau kembali kepada bentuk semula, tetapi seluruh mobilitas tersebut berada pada suatu aturan dan formasi yang terkonstruksi secara stabil dalam sebuah frame besar. Titik-titik yang saling berhubungan di sini adalah ummat Islam, yang ketika melakukan kontak dengan insan lainnya akan tetap menggunakan frame tersebut sebagai landasan jati dirinya. Dengan demikian dapat dikatakan ummat Islam senantiasa tumbuh, bergerak dan berkembang secara dinamis di dalam sebuah struktur kehidupan yang stabil dan mantap.

Minggu, 27 November 2011

PERAN AGAMA DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Pernah disampaikan pada 3nd Symposium of The Journal Anthropology Indonesia dengan judul "Masyarakat Madani atau Masyarakat Multikultural?"

I. Pendahuluan

       Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, hubungan agama dan negara, dalam hal ini Islam, senantiasa mengalami pasang surut. Suatu saat agama tampil ke depan ketika masalah dekadensi moral seperti; perjudian, prostitusi, narkoba, kriminalitas mulai meningkat dan negara memerlukan agama untuk turut menyampaikan pesan-pesan moral. Para Ulama, yaitu orang yang memahami ilmu-ilmu agama, dan pemerintah saling bahu membahu menyelesaikan masalah-masalah sosial tersebut hingga suasana kehidupan masyarakat kembali tenang. Islam juga menjadi penting, ketika konflik antar suku dan etnik merebak. Siapapun warga negara yang beragama apapun, tidak diajarkan untuk saling menyerang dan membunuh, kewajiban para Ulamalah untuk menjadi juru dakwah, mengingatkan pihak-pihak yang bertikai.
Hubungan Islam dan negara kembali mendingin, ketika ulama-ulama memasuki arena politik dan masuk dalam simbol-simbol dan aturan-aturan negara. Kekhawatiran terhadap mengentalnya warna fundamentalis Islam senantiasa mengemuka, sebab apabila fundamentalis Islam mendapat tempat dalam pengambilan keputusan negara, maka hukum Islam akan diterapkan sebagai hukum negara. Terdapat beberapa jenis pelaksanaan hukum-hukumnya yang masih dipahami sebagai diskriminatif atau melanggar hak-hak azasi manusia misalnya seperti hukum potong tangan kepada para pencuri, atau hukum rajam kepada yang berzinah. Kekhawatiran ini tidak pernah pupus, dan pembicaraan ataupun diskusi untuk membuka pemahaman dan wawasan tentang hukum-hukum itu, belum pernah mencapai tujuan.
Membicarakan peran Islam dalam kehidupan bernegara, mungkin bukan sesuatu yang baru lagi, tetapi sekarang saatnya menjadi tepat, ketika kita bersama-sama berdiskusi tentang masyarakat yang multikultural. Makna paling mendasar dari pemahaman multikultural adalah kemampuan setiap orang untuk terbiasa menerima multi perbedaan dengan jiwa besar dan dengan lapang dada. Multikultural dikemukakan oleh para ahli sosial Barat untuk mengimbangi ide pluralism, yang dikembangkan untuk mempersatukan berbagai agama dalam satu kesamaan ajaran. Ajaran-ajaran yang memiliki kesamaan seperti, kasih sayang, toleransi, persaudaraan dijadikan simpul kebersamaan dan dijadikan landasan bahwa semua agama di muka bumi ini sama.
      Dalam paper ini, penulis mengajukan satu pokok pikiran tentang peran agama (Islam) di dalam membangun bangsa, yaitu suatu bangunan masyarakat yang di dalamnya, Islam berperan sebagai hukum yang mengatur kehidupan seluruh warganya, yang disebut sebagai membangun masyarakat Madani. Konsep Masyarakat Madani dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Membandingkan masyarakat Madani dengan Masyarakat Multikultural yang meletakkan peran agama dalam bangunan masyarakatnya, merupakan fokus utama paper ini. Suatu upaya untuk meletakkan perspektif multikultur sebagai suatu pembahasan sepadan dengan konsep masyarakat Madani.
Apabila proses multikultural suatu bangsa berdasarkan pada keragaman suku/etnis serta menyetarakan derajat dari kebudayaan-kebudayaannya yang berbeda-beda itu, maka masyarakat multikultural di sini, adalah masyarakat yang memiliki kebebasan hak dan kewajiban sebagai warga negara tanpa memandang asal suku/etnis, daerah, latarbelakang serta kebudayaan masing-masing warga negara. Dengan demikian kebebasan menjalankan syari’at agama juga seyogyanya diakui dan dijamin oleh negara. Suatu konsekwensi negara ber Tuhan Yang Maha Esa, maka seyogyanya tidak ada pemikiran sekuler.

II. Mengapa Agama Penting Dalam Membangun Bangsa?

       Mempertimbangkan peran agama dalam membangun bangsa, sama artinya mengetahui bagaimana sesungguhnya hubungan agama dengan negara dan hubungan agama dengan hukum? Keleluasaan suatu ummat melaksanakan agamanya sangat ditentukan oleh bagaimana negara menjamin warganya menjalankan syari’at agamanya.
        Ibnu Khaldun menamakan negara hukum sebagai negara yang berperadaban, jadi negara yang tidak dapat menegakkan hukum adalah negara yang telah kehilangan peradaban. Dalam dunianya negara hukum memiliki tiga tipe a.l.: (1) negara hukum (siyasah diniyah) yang menjadikan hukum Islam sebagai fondasi dan juga hukum yang bersumber dari akal manusia; (2) negara hukum sekuler (siyasah aqliyah), yang mendasarkan hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum yang bersumber dari wahyu; (3) negara ala “republik” Plato (siyasah madaniyah) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir golongan elite atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai hak pilih (lih. Azhary:1992).
Di antara ketiga tipe tersebut, tipe yang paling baik adalah siyasah diniyah, dengan alasan ada kombinasi antara syari’ah dan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan manusia dengan menggunakan akalnya. Siyasah diniyah merupakan satu-satunya bentuk tata politik dan kultural yang permanen. Dengan demikian dikatakan bahwa negara adalah hukum selama negara menjalankan syari’ah dan menetapkan kaidah-kaidah hukumnya berdasarkan kepada syari’ah. Negara akan tetap dipatuhi dan didukung oleh warga negaranya, bila konsisten melaksanakan hukum-hukumnya berdasarkan syari’ah.
       Agama bagi ummatnya berfungsi sebagai pedoman bagi hidup dan kehidupannya, secara pribadi akan menjadi Way of life bagi dirinya. Bagi ummat yang taat menjalani ketentuan agamanya di dalam setiap permasalahan kehidupannya, secara naluriah akan berpegang kepada agamanya, terutama apabila ia tidak menemukan acuan yang dapat ia gunakan untuk menemukan solusi bagi permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Bagi individu yang sangat memahami banyak tentang hakikat agamanya, akan senantiasa berpedoman kepada agamanya dalam mengatur hidup dan kehidupannya menghadapi lingkungan alam dan sosialnya, tidak hanya ketika ia tidak mampu lagi memecahkan permasalahan-permasalahan kehidupannya, bukan hanya sebagai obat penawar atau candu seperti pendapat yang terdapat di kalangan Marxisme.
Dalam pemikiran Barat, hukum dan negara merupakan dua komponen yang bebas dari pengaruh agama, kondisi yang disebut sebagai sekuler. Negara sekuler adalah suatu negara yang tidak memberikan peran pada agama dalam kehidupan negara, ciri yang paling mudah ditemukan adalah tidak adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.
       Ibnu Khaldun dalam dunianya memandang agama merupakan landasan hukum yang paling utama dalam negara hukum (siyasah diniyah). Agama, hukum dan negara merupakan hubungan tiga komponen yang sangat erat dan merupakan satu kesatuan (Azhary, 1991:44). Dalam pemikiran Islam (dunianya Ibnu Khaldun) tidak dikenal dikotomi baik antara negara dan agama dan antara agama dan hukum. Oleh sebab itu, penulis lebih cenderung menggunakan konsep Ibnu Khaldun dalam membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat yang multikultural. Konsep negara hukum (siyasah diniyah) adalah sebuah konsep ideal, dan implementasinya dapat dilihat pada dinasti Abasiyyah dan Umayyah (lih. Khaldun:1937) atau pada masa ini, Saudi Arabia dan negara-negara sekitarnya (lih. Azhary:1992). Antara konsepsi ideal dengan implementasinya, tentu saja senantiasa ada perbedaan, dan studi empirik tentang implementasi konsep negara hukum (siyasah diniyah) ini dapat ditemukan di antara literatur sejarah peradaban Islam.

III. Melaksanakan Ajaran Agama Adalah Hak Azasi Pribadi

       Berbagai permasalahan di masyarakat senantiasa membutuhkan suatu penyelesaian yang dapat diterima semua pihak. Dalam hal ini diperlukan suatu pedoman yang rinciannya ditafsirkan dalam bentuk aturan atau lebih tepatnya disebut hukum. Proses terbentuknya hukum dengan dasar mengayomi masyarakat ini, melahirkan suatu produk hukum yang mencakup multidimensi pranata; kultur, sosial, agama, politik dan kekuasaan (negara). Tidak demikian halnya dengan Siyasah Diniyah, pada siyasah diniyah ada kombinasi antara syari’ah dan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan manusia dengan menggunakan akalnya. Pengamatan Ibnu Khaldun terhadap dinasti Abbasiyah dan Umayah, menghasilkan suatu temuan bahwa kekuatan kedaulatan terpenuhi melalui syariat agama. Sedangkan bertahannya kedaulatan suatu dinasti ditentukan oleh dukungan solidaritas sosial, dan syari’ah dapat berjalan juga dengan adanya kedaulatan.
      Di sisi lain, keyakinan terhadap ajaran agama merupakan hak azasi pribadi, yang memerlukan perlindungan hukum sebagai jaminan keleluasaan/kebebasan pelaksanaannya. Dengan demikian jaminan kebebasan melaksanakan syari’at agamanya, membawa masyarakat tersebut memberi dukungan terhadap eksistensi kekuasaan. Segala permasalahan diselesaikan berlandaskan kepada syari’ah, sebab syari’ah adalah way of life (lih. Ibnu Khaldun, 1967, El-Wa, 1984, K. Ali, 1997, dll.). Siklus ini secara tidak langsung menjelaskan berjalannya hubungan tiga komponen, yaitu agama, negara dan hukum dalam satu siklus kehidupan masyarakat. Satu komponen tidak dapat berjalan tanpa kedua komponen yang lain. Pelaksanaan ketiga komponen tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan.

IV. Kesimpulan

       Pemikiran untuk mempertimbangkan agama membangun bangsa yang multikultural untuk kasus bangsa Indonesia, membuktikan para pemikirnya tidak memberi tempat bagi sekulerisme. Saya sepakat pemikiran tersebut, oleh sebab itu saya menampilkan bangunan masyarakat yang merujuk pada membangun masyarakat Madani, apabila kita akan mempertimbangkan peran agama dalam membangun masyarakat yang multikultural. Penelitian empirik Ibnu Khaldun selama bertahun-tahun di masa dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah membuktikan bagaimana Islam sebagai agama tidak hanya melintasi batas ras, etnik, golongan, status sosial dan status ekonomi, melainkan juga memberi plattform kehidupan sosial, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; bagaimana bersikap dan berhubungan dengan bangsa, negara dan agama lain.
        Sekulerime yang memisahkan agama dari kehidupan, sesungguhnya sejarah gelap bangsa Eropah di abad Pertengahan, memasung kreatifitas yang tumbuh di masa itu. Dalam perjalanan sejarah, membebaskan agama dari arahan negara hanya bersifat teori saja, sebab pada pelaksanaannya tidak ada agama yang betul-betul dibiarkan tanpa pengaturan negara. Di dalam backmind setiap individu ada daerah yang terisi dengan ajaran-ajaran agama (keyakinan)nya, yang tentu saja banyak mempengaruhi sikap, pola pikir dan perilaku warganya dalam kehidupan bernegaranya (menjadi way of life).
       Apabila negara-negara Barat mengemukakan Hak Azasi Manusia, maka prinsip-prinsip bangunan masyarakat Madani tidak hanya berbicara mengenai hak sesama manusia tetapi juga memberi jaminan kepada warganya dalam menjalankan ibadahnya kepada Allah SWT. Jadi ada keseimbangan dalam kehidupan sosial dan kehidupan yang sangat pribadi sebagai insan.
Pembentukan negara di Madinah oleh Nabi Muhammad SAW merupakan syarat untuk memiliki kedaulatan, sebab dengan kedaulatan masyarakat Islam dapat menjalankan kehidupan dan ibadahnya dengan tentram dan damai, tanpa dapat ditindas dan diteror. Inilah sesungguhnya hak Azasi Manusia yang paling hakiki. Jadi pembentukan daerah/negara dan membangun sistem keamanan bukan untuk melakukan ekspansi dan intervensi kepada masyarakat lain. Islam adalah agama yang rahmatan lil’alamin, tidak ada tempat baginya untuk bertindak sebagai agresor dan melakukan ekspansi. Di sisi lain negara juga dibutuhkan untuk mengelola dan mengatur masalah-masalah sosial yang tidak dapat diselesaikan oleh individu ataupun di dalam kelompok-kelompok. Negara merupakan representatif dari berbagai kelompok untuk mengatur, kedaulatan, kesejahteraan dan keamanan sosial.
       Terdapat tiga komponen penting yang harus ada di dalam pembentukan masyarakat Madani adalah: (1) Hukum atau aturan yang mengatur kehidupan warganya, hukum tersebut berasal dari agama yaitu undang-undang Allah SWT; Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW; (2) Warga atau masyarakat yang mengakui dan mematuhi undang-undang Allah SWT serta kepatuhan untuk menegakkan dan menjaga supaya undang-undang itu tetap berjalan; (3) Kepemimpinan yang memiliki karakteristik Tabligh, shidiq, amanah dan fatonah Ketiga komponen itu harus ada, apabila satu komponen tidak ada, maka terdapat kepincangan dalam membangun masyarakat Madani. Dan pada akhirnya tujuan masyarakat yang adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi tidak akan tercapai.
      Berbeda dengan bangunan masyarakat liberal, masyarakat sosialis ataupun komunis, bangunan masyarakat Madani adalah sebuah plattform, yang datang dari wahyu Allah SWT melalui rasulNya Rasulullah SAW. Dengan demikian senantiasa ada di backmind masyarakat Muslim, dan akan mempengaruhi dan mewarnai secara mendalam pemikiran, sikap dan perilaku mereka dalam seluruh aktifitas kehidupannya, sehingga dapat dikatakan merupakan ideologi yang bersifat permanen. Ia juga merupakan kajian/studi historis-empirik terhadap jatuh bangunnya suatu peradaban manusia. Jadi memasukkan plattform Masyarakat Madani dalam konsep membangun suatu masyarakat yang ideal-harmonis, mengapa tidak?

Jumat, 30 Januari 2009

Majelis Ta'lim dan Kampanye Pemilu Legislatif 2009

Hari Jum'at kemarin saya berbicara di suatu Majelis Ta'lim ibu-ibu di Bekasi Barat. Ini kehadiran saya kedua kali di majelis Ta'lim tsb. Saya senang betul hadir di sana, karena pengajian itu selalu penuh, walaupun mereka tau yang berbicara kebanyakan orang-orang politik, terutama dari Partai Bulan Bintang, seperti Anggota DPR RI dari Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi, Anwar Shaleh, tokoh pergerakan Syarifien Maloko, Pengurus Muslimat DDII Andi Nurul Jannah, Tokoh DDII Soewito Soeprayogi, dll. Membaca kritik seorang WNI yang dipublikasi satu media massa (maaf kalau ini saya lupa), mengapa majelis Ta'lim menjadi arena kampanye para caleg-caleg berbagai parpol, membuat saya tergelitik untuk membahasnya di sana.

Para pemikir atau pengamat atau khalayak umum yang di dalam backmindnya senantiasa memisahkan antara kehidupan akhirat dan kehidupan dunia memang akan memiliki pandangan yang sama, misalnya kaum sekuler, liberalis,demokratis (dalam politik Islam, demokratis baru titik awal menuju musyawarah untuk menghasilkan yang haq) dan sosialis, apalagi komunis. Padahal mengenalkan diri (ta'aruf) dan menjelaskan visi misi serta berdiskusi tentang "apa yang akan mereka lakukan di hari esok" (merefer pada QS 59:18) justru merupakan suatu sarana jitu bagi masyarakat untuk mengenal dan memahami siapa calon wakil mereka dan apa yang akan mereka perjuangkan. Hal tersebut menjadi wajib bagi kita semua ketika negara ini mengalami krisis terus menerus, dimana kebijakan-kebijakan yang disahkan tidak kunjung mendatangkan manfaat dan kesejahteraan yang global bagi masyarakat, masih sangat parsial bahkan cenderung eksklusif.Anjuran untuk golput dalam pemilu 2009 akhirnya justru menyesatkan dan merugikan bagi masyarakat. Para petinggi MUI sungguh sangat responsif dalam masalah ini. Kita perlu memberikan acungan jempol kepada mereka. MUI dari sejak era Soeharto lebih banyak diam dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan politik, kecuali bagi kepentingan penguasa. Sekarang, ketika lembaga ini sudah melakukan tugas dan kewajibannya dengan baik, mengapa kita tidak mendukung? Amat disayangkan bila ada tokoh politik dari kalangan organisasi Islam justru menganjurkan: boleh dilaksanakan, boleh juga diabaikan. Sungguh memprihatinkan bukan? Jadi boleh kita ingat pesan para ulama (the real 'ulama), jangan lihat siapa yang berkata tapi dengarkan apa yang dikatakan.

Larangan menggunakan ayat-ayat dalam ajaran agama dalam kampanye menjadi sangat naif bila mengingat ajaran agama tentang tugas hidup manusia yaitu beribadah kepada Allah SWT. Maknanya bahwa semua yang dilakukan manusia; bekerja, sekolah, menjalin hubungan kekerabatan, kemasyarakatan, bersosialisasi dan berinteraksi, berpolitik adalah dalam frame ibadah kepada Allah SWT (merefer pada QS 51:56). Ini adalah HAM bagi seluruh umat Islam, yang tentu saja semua khalayak harus menghormati; pemerintah, penyelenggara Pemilu, KPU, Para Legislatif, tokoh agama, tokoh masyarakat, para majikan, bos, orang tua.

Pada ibu-ibu Majelis Ta'lim saya katakan: "Mari ibu-ibu, kita semua semakin meningkatkan pemahaman dienul Islam, agar kita tidak mudah diombang-ambing, karena di hari akhir nanti kita harus mempertanggung jawabkan semua yang kita perbuat, juga apa yang kita pilih hari ini".

Jumat, 04 Juli 2008

Hubungan Imajiner Riga Adiwoso dan George Bush

"Besar betul gagasan anda, ... menyebut 'konsumen Muslim sebagai pusat ekonomi global'! seru Riga Adiwoso ke hadapan saya "Bagaimana cara anda menulis ide yang besar ini,,,, George Bush pun bisa mati berdiri mendengar ini!". katanya lagi dengan nada sinis. Sebetulnya saya ingin mengucapkan "Ok bu, kalau saya bisa merealisasikan menjadi sebuah penelitian, apakah Bush akan benar-benar mati?". Tapi ucapan itu hanya ada di dalam hati, sebab posisi saya kala itu berada pada posisi sub ordinat dan ia berada pada posisi dominan group sebagai penguji. Istilah dominan dan sub ordinat saya dapatkan darinya juga dalam suatu mata kuliah "Integrasi sosial". Beberapa tahun yang lalu saya belajar konsep itu dan pernah saya cetuskan dalam suatu diskusi dengan saudara yang pernah menjadi pejabat militer. Beliau hanya tersenyum mendengar istilah tersebut dan mengatakan bahwa istilah itu ada dalam konsep-konsep sosialis dan marxis. Beberapa tahun setelah itu, saya mulai banyak membaca tentang "konflik dan Integrasi" Geertz dan Fedyani,lalu saya menarik kesimpulan, konsep bu Riga sangat berbeda dengan mereka. Tapi saya tidak pernah mendengar mereka mengkritiknya.Kemudian ketika hari ini kata-kata itu terlontar dari seorang Riga, lalu saya teringat dengan dua professor tadi apa mereka akan bersikap sama terhadap saya bila mereka saat itu menguji saya? (Saya sesalkan juga Prof Fedyani kala itu tidak hadir). Bagi setiap mahasiswa ini adalah moment yang penting. Perbedaan yang sudah sangat mendasar itu membuat saya jadi enggan untuk berkomentar, berdebat apalagi menjawab. Harapan saya bahwa saya akan mendapat masukan berharga pupus sudah, yang saya dapat hanyalah pertanyaan-pertanyaan yang penuh kebencian terhadap apa yang menjadi pokok bahasan yaitu "komunitas Muslim" versi saya, yang berkerudung, yang megkonsumsi barang menggunakan dua oposisi dalam rasionya.. halal haram. manfaat tidak manfaat, berlebih-lebihan atau berkecukupan. Menurutnya Muslimnya tidak sama dengan Muslim saya dan juga Prof Azhary (kebetulan pandangan dalam disertasinya saya kutip untuk menguatkan konsep saya). Ketika saya coba katakan bahwa, yang saya tulis juga adalah budaya konsumen Muslim yang bervariasi dan dinamis, saya berharap ia mulai memahami, tetapi yang saya rasakan cuma luapan kebencian, akhirnya saya teringat kata-kata bijak guru mengaji saya KH RA Zailani, kau tidak akan habisnya berdebat dengan orang yang tidak pernah memahami pandanganmu dan tidak akan ada hasilnya, kau sampaikan ataupun tidak kau sampaikan sama saja. So, saya akhirnya memilih diam seribu bahasa sampai akhir. Tapi saya membawa hikmah, mestinya antara Riga Adiwoso dan Bush terdapat hubungan imajiner yang menghubungkan mereka pada suatu dunia imajiner, sehingga bila konsumen Muslim menjadi raja pasar dunia, Riga Adiwoso bisa sakit dan Bush bisa mati. Walahu'alam bisawab

Dari Civil Society Ke Civil Religion

Oleh: Dra. Endang Rudiatin Sosrosoediro, M.Si

Manusia adalah produk sejarah, lingkungan sosial, dan alam, bukan hanya produk adat istiadat nenek moyangnya. Pendapat Ibnu Khaldun yang dituangkan dalam karya besarnya "Al Muqaddimah" yang ditulisnya pada abad 13, relevan dalam menyoroti proses pendidikan di Indonesia. Perkembangan manusia tidak lepas dari kultur di mana dia berada. Kultur di sini bukan hanya me-refer pada kebudayaan sebatas suku atau etnis tertentu, melainkan menjadi suatu konstruksi kombinasi multi dimensi, yaitu latar belakang agama, suku/etnik, lingkungan sosial-budaya dan alam seseorang dalam seluruh proses kehidupannya. Maka proses integrasi berbagai kultur yang dimiliki dan dan terlibat dalam proses transformasi sosial, mencirikan proses multikulturalis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada umumnya, proses internalisasi nilai-nilai dan norma agama diterima, disepakati, didukung dan dikembangkan serta dijadikan pedoman oleh ummatnya dari berbagai kultur di dalam seluruh sendi kehidupannya. Oleh sebab itu, diasumsikan bahwa agama cukup dominan mewarnai proses multikulturalis dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Nilai-nilai agama mengalami proses interpretasi ke dalam diri aktor-aktor/agen, yang kemudian mereproduksi dalam perilaku. Bagaimana agama berperan dalam transformasi sosial dan implikasinya terhadap pembentukan perilaku masyarakat di Andalusia Spanyol, membawa pemikiran Ibnu Khaldun kepada konsep civil society yang unik dan berbeda dengan yang kita temui dalam perkembangan civil society selama ini, yang kemudian oleh beberapa kalangan diterjemahkan sebagai masyarakat madani.

Civil Society

Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, kita perlu menganalisa secara historis kemunculan masyarakat Madani dan kemunculan istilah masyarakat Sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa.

Masyarakat Sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris Civil Society yang mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama dalam membongkar masyarakat Marxis. Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instumental (lih. Gellner:1996).

Seperti Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat perang), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya. Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti ini telah terjadi dan mungkin. Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial, politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila masyarakat perang digantikan dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari serangan musuh. Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu Khaldun yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga keamanan negara, maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya, masyarakat sipil.

Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya. Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya), menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku (lih. Alatas, 2001:7). Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.

Civil Religion

Demokratisasi di sisi lain memunculkan friksi antara masyarakat, agama dan negara. Sebagai negara yang menggunakan pilar agama sebagai landasan perjuangan dan cita-cita bangsa sebagaimana tertuang di dalam pembukaan UUD 45 (Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa.........), meletakkan kehidupan agama diatur oleh negara. Tujuannya tak lain untuk melindungi dan menjamin warga negara dapat menjalankan ibadah agamanya masing-masing dengan baik. Sebagian masyarakat Muslim bahkan meyakini bahwa Pembukaan UUD 45 dijiwai oleh Piagam Jakarta sebagaimana disebutkan juga dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (Kembali kepada UUD 45 yang dijiwai oleh piagam Jakarta). Artinya keyakinan agama merupakan ruh bagi setiap bangsa Indonesia dalam membangun bangsa dan negara ini. Lalu civil religion berkembang seiring dengan keinginan sekelompok masyarakat yang memposisikan agama di tengah perubahan sosial, dengan mengadopsi konsep civil religion bangsa Amerika, yaitu agama dalam masyarakat modern adalah sebagai sandaran transendental. Kehidupan beragama berjalan bersama proses transformasi sosial. Dalam masyarakatnya yang majemuk, agama yang dianut dan berkembang juga beragama, tetapi keragaman agama itu tidak mendapat tempat untuk diekspresikan dalam bentuk simbol-simbol formal.

Pada masyarakat Indonesia, kadang-kadang pejabat negara memperingati acara keagamaan yang dianutnya, seperti msalnya perayaan hari-hari besar dalam agama Islam, yaitu Idul Adha, dimana beberapa instansi menyelenggarakan pemotongan hewan bersama-sama, sholat bersama atau misalnya memperingati Malam Nuzulul Qur’an, buka bersama. Disebabkan di dalam kultur politik masyarakat Indonesia yang berbentuk paguyuban (bahkan di kota-kota besar sekalipun), masih melekat budaya patron-klien, maka apabila seorang pemimpin negara menghadiri dan memperingati acara-acara keagamaan tsb. seluruh staf dan para pembantu-pembantunya akan ikut mengiringi. Fenomena ini yang kemudian banyak dipahami sebagai mengekspresikan agama ke dalam simbol-simbol formal. Tetapi alangkah memprihatinkan, apabila seorang pemimpin dengan alasan menghindari formalisasi simbol-simbol agama, lalu kehilangan haknya untuk berada dan aktif dalam lingkungan agamanya. Tidak dapat kita pungkiri bahwa seringkali simbol-simbol agama dipergunakan sebagai alat politik, melegalkan tindakan-tindakan politik yang bertentangan dengan sekelompok atau beberapa kelompok masyarakat. Tindakan-tindakan seperti ini membuat makna kemajemukan yang harmonis tereliminir. Kemampuan setiap masyarakat untuk dapat menerima perbedaan dalam kemajemukan beragama merupakan tuntutan masyarakat pluralistik. Dengan demikian setiap umat beragama dapat leluasa dan tanpa kekhawatiran dapat melaksanakan ritual agamanya masing-masing, tanpa perlu melakukan penyeragaman, sebab integrasi tidak sama dengan penyeragaman.

Satu pilar utama dalam kehidupan beragama yang majemuk yang harus selalu dijaga dan dijunjung tinggi adalah, ”setiap agama telah memiliki batas-batas koridor masing-masing, sehingga apabila dalam perkembangannya setiap agama yang keluar dari koridor itu, akan membawa keresahan dalam masyarakat agamanya, dan untuk itulah pemerintah bertugas menata dan menyeimbangkan kembali”. Sebagaimana konsep Durkheim, setiap individu dalam masyarakat akan memiliki kecenderungan untuk saling berinteraksi dan saling menyumbang bagi solidaritas sosialnya. Sumbangan individu-individu itu kemudin disepakati bersama dan melahirkan suatu konsep bersama yang ditaati bersama. Sebuah konsep integrasi sosial yang dapat berlaku tidak saja dalam kehidupan sosial masyarakat, tetapi juga kehidupan beragamanya. Levi Strauss dengan konsep strukturalisnya berpendapat, bahwa tidak ada suatu masyarakatpun yang tidak membutuhkan aturan, manusia memiliki naluri untuk itu. Dan civil society serta civil religion berkembang tanpa perlu mendiskreditkan satu kelompok masyarakat dataun satu kelompok agama.

referensi : Komisi Infokom
http://www.mui.or.id/mui_in/article.php?ac