Minggu, 27 November 2011

PERAN AGAMA DALAM MASYARAKAT MULTIKULTURAL

Pernah disampaikan pada 3nd Symposium of The Journal Anthropology Indonesia dengan judul "Masyarakat Madani atau Masyarakat Multikultural?"

I. Pendahuluan

       Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, hubungan agama dan negara, dalam hal ini Islam, senantiasa mengalami pasang surut. Suatu saat agama tampil ke depan ketika masalah dekadensi moral seperti; perjudian, prostitusi, narkoba, kriminalitas mulai meningkat dan negara memerlukan agama untuk turut menyampaikan pesan-pesan moral. Para Ulama, yaitu orang yang memahami ilmu-ilmu agama, dan pemerintah saling bahu membahu menyelesaikan masalah-masalah sosial tersebut hingga suasana kehidupan masyarakat kembali tenang. Islam juga menjadi penting, ketika konflik antar suku dan etnik merebak. Siapapun warga negara yang beragama apapun, tidak diajarkan untuk saling menyerang dan membunuh, kewajiban para Ulamalah untuk menjadi juru dakwah, mengingatkan pihak-pihak yang bertikai.
Hubungan Islam dan negara kembali mendingin, ketika ulama-ulama memasuki arena politik dan masuk dalam simbol-simbol dan aturan-aturan negara. Kekhawatiran terhadap mengentalnya warna fundamentalis Islam senantiasa mengemuka, sebab apabila fundamentalis Islam mendapat tempat dalam pengambilan keputusan negara, maka hukum Islam akan diterapkan sebagai hukum negara. Terdapat beberapa jenis pelaksanaan hukum-hukumnya yang masih dipahami sebagai diskriminatif atau melanggar hak-hak azasi manusia misalnya seperti hukum potong tangan kepada para pencuri, atau hukum rajam kepada yang berzinah. Kekhawatiran ini tidak pernah pupus, dan pembicaraan ataupun diskusi untuk membuka pemahaman dan wawasan tentang hukum-hukum itu, belum pernah mencapai tujuan.
Membicarakan peran Islam dalam kehidupan bernegara, mungkin bukan sesuatu yang baru lagi, tetapi sekarang saatnya menjadi tepat, ketika kita bersama-sama berdiskusi tentang masyarakat yang multikultural. Makna paling mendasar dari pemahaman multikultural adalah kemampuan setiap orang untuk terbiasa menerima multi perbedaan dengan jiwa besar dan dengan lapang dada. Multikultural dikemukakan oleh para ahli sosial Barat untuk mengimbangi ide pluralism, yang dikembangkan untuk mempersatukan berbagai agama dalam satu kesamaan ajaran. Ajaran-ajaran yang memiliki kesamaan seperti, kasih sayang, toleransi, persaudaraan dijadikan simpul kebersamaan dan dijadikan landasan bahwa semua agama di muka bumi ini sama.
      Dalam paper ini, penulis mengajukan satu pokok pikiran tentang peran agama (Islam) di dalam membangun bangsa, yaitu suatu bangunan masyarakat yang di dalamnya, Islam berperan sebagai hukum yang mengatur kehidupan seluruh warganya, yang disebut sebagai membangun masyarakat Madani. Konsep Masyarakat Madani dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Membandingkan masyarakat Madani dengan Masyarakat Multikultural yang meletakkan peran agama dalam bangunan masyarakatnya, merupakan fokus utama paper ini. Suatu upaya untuk meletakkan perspektif multikultur sebagai suatu pembahasan sepadan dengan konsep masyarakat Madani.
Apabila proses multikultural suatu bangsa berdasarkan pada keragaman suku/etnis serta menyetarakan derajat dari kebudayaan-kebudayaannya yang berbeda-beda itu, maka masyarakat multikultural di sini, adalah masyarakat yang memiliki kebebasan hak dan kewajiban sebagai warga negara tanpa memandang asal suku/etnis, daerah, latarbelakang serta kebudayaan masing-masing warga negara. Dengan demikian kebebasan menjalankan syari’at agama juga seyogyanya diakui dan dijamin oleh negara. Suatu konsekwensi negara ber Tuhan Yang Maha Esa, maka seyogyanya tidak ada pemikiran sekuler.

II. Mengapa Agama Penting Dalam Membangun Bangsa?

       Mempertimbangkan peran agama dalam membangun bangsa, sama artinya mengetahui bagaimana sesungguhnya hubungan agama dengan negara dan hubungan agama dengan hukum? Keleluasaan suatu ummat melaksanakan agamanya sangat ditentukan oleh bagaimana negara menjamin warganya menjalankan syari’at agamanya.
        Ibnu Khaldun menamakan negara hukum sebagai negara yang berperadaban, jadi negara yang tidak dapat menegakkan hukum adalah negara yang telah kehilangan peradaban. Dalam dunianya negara hukum memiliki tiga tipe a.l.: (1) negara hukum (siyasah diniyah) yang menjadikan hukum Islam sebagai fondasi dan juga hukum yang bersumber dari akal manusia; (2) negara hukum sekuler (siyasah aqliyah), yang mendasarkan hukum sebagai hasil rasio manusia tanpa mengindahkan hukum yang bersumber dari wahyu; (3) negara ala “republik” Plato (siyasah madaniyah) merupakan suatu negara yang diperintah oleh segelintir golongan elite atas sebagian besar golongan budak yang tidak mempunyai hak pilih (lih. Azhary:1992).
Di antara ketiga tipe tersebut, tipe yang paling baik adalah siyasah diniyah, dengan alasan ada kombinasi antara syari’ah dan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan manusia dengan menggunakan akalnya. Siyasah diniyah merupakan satu-satunya bentuk tata politik dan kultural yang permanen. Dengan demikian dikatakan bahwa negara adalah hukum selama negara menjalankan syari’ah dan menetapkan kaidah-kaidah hukumnya berdasarkan kepada syari’ah. Negara akan tetap dipatuhi dan didukung oleh warga negaranya, bila konsisten melaksanakan hukum-hukumnya berdasarkan syari’ah.
       Agama bagi ummatnya berfungsi sebagai pedoman bagi hidup dan kehidupannya, secara pribadi akan menjadi Way of life bagi dirinya. Bagi ummat yang taat menjalani ketentuan agamanya di dalam setiap permasalahan kehidupannya, secara naluriah akan berpegang kepada agamanya, terutama apabila ia tidak menemukan acuan yang dapat ia gunakan untuk menemukan solusi bagi permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Bagi individu yang sangat memahami banyak tentang hakikat agamanya, akan senantiasa berpedoman kepada agamanya dalam mengatur hidup dan kehidupannya menghadapi lingkungan alam dan sosialnya, tidak hanya ketika ia tidak mampu lagi memecahkan permasalahan-permasalahan kehidupannya, bukan hanya sebagai obat penawar atau candu seperti pendapat yang terdapat di kalangan Marxisme.
Dalam pemikiran Barat, hukum dan negara merupakan dua komponen yang bebas dari pengaruh agama, kondisi yang disebut sebagai sekuler. Negara sekuler adalah suatu negara yang tidak memberikan peran pada agama dalam kehidupan negara, ciri yang paling mudah ditemukan adalah tidak adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.
       Ibnu Khaldun dalam dunianya memandang agama merupakan landasan hukum yang paling utama dalam negara hukum (siyasah diniyah). Agama, hukum dan negara merupakan hubungan tiga komponen yang sangat erat dan merupakan satu kesatuan (Azhary, 1991:44). Dalam pemikiran Islam (dunianya Ibnu Khaldun) tidak dikenal dikotomi baik antara negara dan agama dan antara agama dan hukum. Oleh sebab itu, penulis lebih cenderung menggunakan konsep Ibnu Khaldun dalam membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat yang multikultural. Konsep negara hukum (siyasah diniyah) adalah sebuah konsep ideal, dan implementasinya dapat dilihat pada dinasti Abasiyyah dan Umayyah (lih. Khaldun:1937) atau pada masa ini, Saudi Arabia dan negara-negara sekitarnya (lih. Azhary:1992). Antara konsepsi ideal dengan implementasinya, tentu saja senantiasa ada perbedaan, dan studi empirik tentang implementasi konsep negara hukum (siyasah diniyah) ini dapat ditemukan di antara literatur sejarah peradaban Islam.

III. Melaksanakan Ajaran Agama Adalah Hak Azasi Pribadi

       Berbagai permasalahan di masyarakat senantiasa membutuhkan suatu penyelesaian yang dapat diterima semua pihak. Dalam hal ini diperlukan suatu pedoman yang rinciannya ditafsirkan dalam bentuk aturan atau lebih tepatnya disebut hukum. Proses terbentuknya hukum dengan dasar mengayomi masyarakat ini, melahirkan suatu produk hukum yang mencakup multidimensi pranata; kultur, sosial, agama, politik dan kekuasaan (negara). Tidak demikian halnya dengan Siyasah Diniyah, pada siyasah diniyah ada kombinasi antara syari’ah dan kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan manusia dengan menggunakan akalnya. Pengamatan Ibnu Khaldun terhadap dinasti Abbasiyah dan Umayah, menghasilkan suatu temuan bahwa kekuatan kedaulatan terpenuhi melalui syariat agama. Sedangkan bertahannya kedaulatan suatu dinasti ditentukan oleh dukungan solidaritas sosial, dan syari’ah dapat berjalan juga dengan adanya kedaulatan.
      Di sisi lain, keyakinan terhadap ajaran agama merupakan hak azasi pribadi, yang memerlukan perlindungan hukum sebagai jaminan keleluasaan/kebebasan pelaksanaannya. Dengan demikian jaminan kebebasan melaksanakan syari’at agamanya, membawa masyarakat tersebut memberi dukungan terhadap eksistensi kekuasaan. Segala permasalahan diselesaikan berlandaskan kepada syari’ah, sebab syari’ah adalah way of life (lih. Ibnu Khaldun, 1967, El-Wa, 1984, K. Ali, 1997, dll.). Siklus ini secara tidak langsung menjelaskan berjalannya hubungan tiga komponen, yaitu agama, negara dan hukum dalam satu siklus kehidupan masyarakat. Satu komponen tidak dapat berjalan tanpa kedua komponen yang lain. Pelaksanaan ketiga komponen tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan.

IV. Kesimpulan

       Pemikiran untuk mempertimbangkan agama membangun bangsa yang multikultural untuk kasus bangsa Indonesia, membuktikan para pemikirnya tidak memberi tempat bagi sekulerisme. Saya sepakat pemikiran tersebut, oleh sebab itu saya menampilkan bangunan masyarakat yang merujuk pada membangun masyarakat Madani, apabila kita akan mempertimbangkan peran agama dalam membangun masyarakat yang multikultural. Penelitian empirik Ibnu Khaldun selama bertahun-tahun di masa dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah membuktikan bagaimana Islam sebagai agama tidak hanya melintasi batas ras, etnik, golongan, status sosial dan status ekonomi, melainkan juga memberi plattform kehidupan sosial, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; bagaimana bersikap dan berhubungan dengan bangsa, negara dan agama lain.
        Sekulerime yang memisahkan agama dari kehidupan, sesungguhnya sejarah gelap bangsa Eropah di abad Pertengahan, memasung kreatifitas yang tumbuh di masa itu. Dalam perjalanan sejarah, membebaskan agama dari arahan negara hanya bersifat teori saja, sebab pada pelaksanaannya tidak ada agama yang betul-betul dibiarkan tanpa pengaturan negara. Di dalam backmind setiap individu ada daerah yang terisi dengan ajaran-ajaran agama (keyakinan)nya, yang tentu saja banyak mempengaruhi sikap, pola pikir dan perilaku warganya dalam kehidupan bernegaranya (menjadi way of life).
       Apabila negara-negara Barat mengemukakan Hak Azasi Manusia, maka prinsip-prinsip bangunan masyarakat Madani tidak hanya berbicara mengenai hak sesama manusia tetapi juga memberi jaminan kepada warganya dalam menjalankan ibadahnya kepada Allah SWT. Jadi ada keseimbangan dalam kehidupan sosial dan kehidupan yang sangat pribadi sebagai insan.
Pembentukan negara di Madinah oleh Nabi Muhammad SAW merupakan syarat untuk memiliki kedaulatan, sebab dengan kedaulatan masyarakat Islam dapat menjalankan kehidupan dan ibadahnya dengan tentram dan damai, tanpa dapat ditindas dan diteror. Inilah sesungguhnya hak Azasi Manusia yang paling hakiki. Jadi pembentukan daerah/negara dan membangun sistem keamanan bukan untuk melakukan ekspansi dan intervensi kepada masyarakat lain. Islam adalah agama yang rahmatan lil’alamin, tidak ada tempat baginya untuk bertindak sebagai agresor dan melakukan ekspansi. Di sisi lain negara juga dibutuhkan untuk mengelola dan mengatur masalah-masalah sosial yang tidak dapat diselesaikan oleh individu ataupun di dalam kelompok-kelompok. Negara merupakan representatif dari berbagai kelompok untuk mengatur, kedaulatan, kesejahteraan dan keamanan sosial.
       Terdapat tiga komponen penting yang harus ada di dalam pembentukan masyarakat Madani adalah: (1) Hukum atau aturan yang mengatur kehidupan warganya, hukum tersebut berasal dari agama yaitu undang-undang Allah SWT; Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW; (2) Warga atau masyarakat yang mengakui dan mematuhi undang-undang Allah SWT serta kepatuhan untuk menegakkan dan menjaga supaya undang-undang itu tetap berjalan; (3) Kepemimpinan yang memiliki karakteristik Tabligh, shidiq, amanah dan fatonah Ketiga komponen itu harus ada, apabila satu komponen tidak ada, maka terdapat kepincangan dalam membangun masyarakat Madani. Dan pada akhirnya tujuan masyarakat yang adil dan makmur, gemah ripah loh jinawi tidak akan tercapai.
      Berbeda dengan bangunan masyarakat liberal, masyarakat sosialis ataupun komunis, bangunan masyarakat Madani adalah sebuah plattform, yang datang dari wahyu Allah SWT melalui rasulNya Rasulullah SAW. Dengan demikian senantiasa ada di backmind masyarakat Muslim, dan akan mempengaruhi dan mewarnai secara mendalam pemikiran, sikap dan perilaku mereka dalam seluruh aktifitas kehidupannya, sehingga dapat dikatakan merupakan ideologi yang bersifat permanen. Ia juga merupakan kajian/studi historis-empirik terhadap jatuh bangunnya suatu peradaban manusia. Jadi memasukkan plattform Masyarakat Madani dalam konsep membangun suatu masyarakat yang ideal-harmonis, mengapa tidak?

Tidak ada komentar: